Tampilkan postingan dengan label Tata Usaha Negara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tata Usaha Negara. Tampilkan semua postingan

Jumat, 15 Juni 2012

Keputusan dan Dilema Yurisdiksi

Oleh: Eman Suparman
Lektor pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, sedang mengikuti program S3 (Angkatan V) pada PDIH Universitas Diponegoro, Semarang.

I. PENDAHULUAN

Dalam masyarakat awam terminologi birokrasi memiliki konotasi yang kurang baik. Istilah birokrasi acapkali dipahami sebagai prosedur kerja yangberbelit-belit, proses pelayanan yang lamban, mekanisme kerja yang tidakefektif dan efisien, serta sumber penyalahgunaan kedudukan dan wewenang.

Moerdiono dalam tulisannya pernah mengemukakan bahwa (1993: 38), ”istilah birokrasi pada dasarnya mempunyai konotasi netral untuk menunjukkan ciri-ciri suatu organisasi besar, [namun] telah salah kaprah dipahami sebagai sesuatu ukuran yang buruk, walaupun Max Weber, yang dipahami sebagai ayatullah-nya segala ulasan mengenai birokrasi, juga menunjukkan sisi positip birokrasi, namun sisi negatifnya lebih menonjol diingat orang bila mendengar istilah ini”.

Berkembangnya kecenderungan anggapan masyarakat awam di Indonesia bahwa birokrasi itu berkonotasi buruk, boleh jadi turut ditumbuh-suburkan oleh tradisi penerapan birokrasi itu sendiri selama masa pemerintahan Orde Baru 1966-1998. “Ketika itu birokrasi telah mengalami pemekaran fungsi dan peranan, dari sekedar instrumen teknis yang bersifat administrasi, ia berubah menjadi mesin politik yang efektif dalam upaya rekayasa masyarakat” (Manuel Kasiepo, 1987: 23). Akibat yang tampak kemudian adalah semakin dominannya peran birokrasi dalam sistem politik orde baru. Agaknya warisan1 dari praktik itulah yang terus mewarnai kesan masyarakat hingga kini, meski rejim otoriter Orde Baru secara de facto telah berakhir.

Sebagai salah satu instrumen di dalam praktik penyelenggaraan negara dan berbagai upaya pembangunan di dalamnya, birokrasi mempunyai peranan yang semakin penting di dalam masyarakat. Apalagi di Indonesia yang masyarakatnya sedang terus menerus melakukan perubahan melalui berbagai aktivitas positif yang konstruktif. Dalam kerangka masyarakat semacam itu telah semestinya birokrasi pemerintah ditata mendekati apa yang disebut dengan “tipe ideal birokrasi modern” sebagaimana diintroduksikan oleh Max Weber, yaitu legal dan rasional (Mochtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, 1989:98-99). Menurut Max Weber, birokrasi yang bersifat legal-rasional haruslah memiliki karakteristik sebagai berikut: 
(1) pembagian kerja lebih jelas, (2) adanya hirarki wewenang, (3) pengaturan perilaku pemegang jabatan birokrasi, (4) impersonalitas hubungan, (5) kemampuan teknis, dan (6) karier.

Jika dalam perkembangan masyarakat yang berangsur semakin maju birokrasi tidak diupayakan untuk mendekati typenya yang ideal, maka dikhawatirkan birokrasi akan semakin dirasakan sebagai instrumen penghambat pemenuhan kebutuhan pelayanan masyarakat. Hal itu disebabkan karena mekanisme proses yang terus menerus diupayakan oleh masyarakat itu sendiri telah menghasilkan perubahan taraf hidup dan kesejahteraan dalam bidang materiil yang tidak jarang diikuti pula oleh perubahan sikap dan perilakunya.

II. BEBERAPA PENGERTIAN ISTILAH

Birokrasi adalah: “Keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer yang melakukan tugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu” (Yahya Muhaimin, 1980:21). Moerdiono menggunakan istilah birokrasi pemerintahan, yang didefinisikannya sebagai berikut: “Seluruh jajaran badan-badan eksekutif sipil yang dipimpin oleh pejabat pemerintah di bawah tingkat menteri. Tugas pokoknya adalah secara profesional menindaklanjuti keputusan politik yang telah diambil pemerintah” (1993:38).

Mencermati dua definisi birokrasi yang dikutip dari dua tokoh di atas, tampak sekali perbedaannya. Yang pertama memasukkan unsur militer sebagai bagian dari birokrasi. Sedangkan definisi kedua secara tegas hanya menyebut jajaran eksekutif sipil, sehingga unsur militer tidak dimasukan sebagai bagian dari birokrasi. Hal itu sejalan dengan konsep pemikiran Moerdiono dalam paparannya tersebut, yang antara lain menguraikan: “Istilah birokrasi lazimnya kita pahami terbatas pada badan-badan eksekutif sipil.

Tidaklah lazim, baik di negeri kita maupun di negeri-negeri lainnya, bahwa satuan tempur atau satuan teritorial disebut sebagai birokrasi, walaupun ukuran serta cakupannya juga bisa amat besar” (Moerdiono, 1993:39). Pendapat tersebut dikemukakannya bukan tanpa alasan.

Sebagai seorang yang berlatar belakang militer, agaknya cara pandang Moerdiono tidak lepas dari atribut yang melekat dan dilekatkan pada dirinya. Dalam pemahamannya, instansi militer bukan sebagai instansi birokrasi karena instansi militer biasa bekerja secara operasional, sehingga terbebas dari kesan “birokratis”. Dia membandingkan instansi militer dengan organisasi perusahaan swasta yang besar-besar. Menurut pendapatnya, tidak lazim bahwa organisasi perusahaan swasta yang besar-besar itu disebut sebagai “birokrasi”. Hal itu disebabkan karena usaha-usaha swasta itu bekerja secara operasional, tidak kalah kenyalnya dibandingkan dengan organisasi militer (Moerdiono, 1993:39).

Untuk membuktikan seberapa jauh kebenaran pendapat Moerdiono tentang organisasi militer itu bukan birokrasi disebabkan mereka bekerja secara operasional, tentu saja harus diuji oleh sebuah konsepsi yang ada. Bila dikembalikan kepada konsepsi dasar tentang birokrasi dari Max Weber, meski dalam mengemukakan konsepsinya Weber tidak memakai istilah birokrasi, melainkan menamakannya dengan model “ideal type” dari tata hubungan organisasi yang rasional (Miftah Thoha, 1987:72). Konsepsi Weber tentang “ideal type” itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal mereka;
  2. Ada hirarki jabatan yang jelas;
  3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
  4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
  5. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui suatu ujian;
  6. Mereka memiliki gaji dan biasanya juga ada hak-hak pensiun. Gaji berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu ia juga dapat diberhentikan;
  7. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya;
  8. Terdapat suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut pertimbangan keunggulan (superioritas);
  9. Jabatan mungkin tidak sesuai baik dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut;
  10. Ia tunduk pada sistem disipliner dan kontrol yang seragam (Martin Albrow, 1989: 42-43).
Terhadap ciri-ciri birokrasi Max Weber di atas, ada pula kalangan yang memberi interpretasi lebih sederhana. Seperti halnya dilakukan Manuel Kasiepo yang memberi penafsiran atas birokrasi Weber tersebut dengan ciri-ciri yang lebih sederhana yaitu: (1) terikat konstitusi dan aturan hukum, (2) netral, dan (3) a-politik (Manuel Kasiepo, 1987: 23).

Berdasarkan dua kelompok ciri-ciri birokrasi atau “ideal type” dari tata hubungan organisasi yang rasional di atas, penulis sama sekali tidak sependapat dengan pandangan Moerdiono. Persoalannya organisasi militer memenuhi hampir sebagian besar dari sepuluh ciri “ideal type” Weber di atas.

Oleh karena itu agaknya tidak terdapat cukup alasan untuk menyatakan bahwa instansi militer bukan birokrasi. Persoalannya berdasarkan interpretasi Manuel Kasiepo atas “ideal type” Weber, militer jelas terikat konstitusi dan aturan hukum, militer juga harus netral keberadaannya karena posisinya dituntut harus berdiri di atas semua kepentingan dan golongan. Konsekuensinya militer juga tidak berpolitik praktis dalam arti menjadi anggota suatu partai politik tertentu.

Memang banyak kritik yang dikemukakan terhadap organisasi birokrasi, yang pada prinsipnya mereka menyatakan bahwa “tipe ideal” organisasi yang dikemukakan oleh Max Weber itu sukar dijumpai di dalam kenyataannya (Akhmad Setiawan, 1998 :143). Pendapat demikian boleh jadi ada benarnya, akan tetapi ada beberapa prinsip pokok yang baik dan dapat meningkatkan kerja birokrasi tersebut. Beberapa prinsip tersebut yaitu:

efisiensi, efektivitas, kecepatan dalam pelayanan, dalam arti pemberian pelayanan kepada masyarakat tanpa membedakan dan tanpa memperlihatkan pertimbangan pribadi. Tidak kalah strategisnya juga adalah masalah rekruitmen kepegawaian yang harus didasarkan pada prinsip rasionalitas dengan mempertimbangkan keahlian dan kemampuan yang ditempuh melalui ujian atau pengalaman. Kesemuanya itu terletak pada suatu sistem administrasi negara modern sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber.

Berdasarkan perbedaan tugas pokok atau misi yang mendasari suatu organisasi birokrasi, Syukur Abdullah (Akhmad Setiawan, 1998: 145), menguraikan tiga kategori Birokrasi, sebagai berikut:

Kesatu, Birokrasi Pemerintahan Umum, yaitu rangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan, dari tingkat pusat sampai di daerah (propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa). Tugas-tugas tersebut lebih bersifat mengatur.

Kedua, Birokrasi Pembangunan, yaitu organisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang atau sektor yang khusus guna mencapai tujuan pembangunan, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan, industri. Fungsi pokoknya adalah “development function” atau “adaptive function.”

Ketiga, Birokrasi Pelayanan, yaitu unit organisasi yang pada hakikatnya merupakan bagian yang langsung berhubungan dengan masyarakat.

Yang termasuk dalam kategori ini, antara lain: Rumah Sakit, Sekolah (SD-SLTA), Koperasi, Bank Rakyat Desa, Transmigrasi, dan berbagai unit organisasi lainnya yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat atas nama pemerintah. fungsi utamanya adalah “service”.

Untuk memahami pengertian Pejabat Birokrasi barang tentu tidak dapat dilepaskan dari konteks pemaparan mengenai pengertian Hukum Administrasi Negara.

Menurut S. Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara adalah: “Hukum mengenai Administrasi Negara, dan Hukum hasil ciptaan Administrasi Negara” (1995:43).

Administrasi Negara itu sendiri meliputi tiga hal, yaitu: (1) Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintah, atau sebagai institusi politik (kenegaraan); (2) sebagai fungsi atau aktivitas melayani atau sebagai kegiatan pemerintah operasional; dan (3) sebagai proses teknis penyelenggaraan Undang-undang. Dalam pengertiannya yang luas, Hukum Administrasi Negara meliputi beberapa unsur, satu diantaranya adalah Hukum Tata Usaha Negara (HTUN). Yaitu hukum mengenai surat menyurat, rahasia dinas dan jabatan, registrasi, kearsipan dan dokumentasi, legalisasi, pelaporan, dan statistik, tata cara penyusunan dan penyimpanan berita acara, pencatatan sipil, publikasi, penerangan, dan penerbitan-penerbitan negara. Oleh karena itu secara singkat dapat pula disebut Hukum Birokrasi, (S. Prajudi Atmosudirdjo, 1995:44).

“Tata Usaha Negara (Bureaucracy) adalah keseluruhan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan ketatausahaan dalam dinas Administrasi Negara atau penyelenggaraan pemerintahan negara dengan jalan dan cara-cara rutin serta prosedur tertentu” (S. Prajudi Atmosudirdjo, 1995: 76)."

Dalam kerangka pembahasan mengenai Hukum Administrasi Negara ini, dapatlah kiranya dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan Pejabat Birokrasi adalah “aparatur negara yang menjalankan tugas administrasi melalui pengambilan keputusan-keputusan administratif (administratieve beschikking) yang bersifat individual, kasual, faktual, teknis penyelenggaraan, dan tindakan administratif, yang bersifat organisasional, manajerial, informasional atau operasional. Oleh karena itu keputusan maupun tindakannya dapat dilawan melalui berbagai bentuk peradilan administrasi negara" (S. Prajudi Atmosudirdjo, 1995: 49).

Adapun istilah “yurisdiksi” berasal dari kata Bahasa Inggris jurisdiction. Kata tersebut merupakan kata yang diadopsi dari Bahasa Latin yurisdictio.

Di dalam “The Encyclopedia Americana”, jurisdiction diartikan sebagai berikut: “…Jurisdiction. In law, a term for power or authority. It is usually applied to courts and quasi-judicial bodies, describing the scope of their right to act. …As applied in generally to a state or nation, the term “jurisdiction” means its authority to declare and enforce the law…” (1997: 257-258).

Dapatlah dipahami bahwa yurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum). Yurisdiksi dapat dibedakan antara yurisdiksi perdata dan yurisdiksi pidana. “Yurisdiksi perdata adalah kewenangan (hukum) pengadilan suatu negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan, baik yang sifatnya nasional yaitu bila para pihak atau objek perkaranya melulu menyangkut nasional, maupun yang bersifat internasional (perdata internasional) yaitu bila para pihak atau objek perkaranya menyangkut unsur asing. Sedangkan yurisdiksi pidana adalah kewenangan (hukum) pengadilan suatu negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan, baik yang tersangkut di dalamnya unsur asing maupun nasional” (H.A. Tobing, 1991: 143-145).

Dari pengertian di atas, dapatlah diketahui bahwa membicarakan mengenai yurisdiksi bersangkut paut dengan masalah hukum, khususnya masalah kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh suatu badan peradilan atau badan-badan negara lainnya yang berdasarkan atas hukum.

III. KEPUTUSAN PEJABAT BIROKRASI YANG BERISI PERBUATAN HUKUM PERDATA

Keputusan Pejabat Birokrasi atau Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).

Adakalanya keputusan pejabat birokrasi atau keputusan Tata Usaha Negara (TUN) dalam beberapa hal memunculkan problema yurisdiksi peradilan. Problema yurisdiksi peradilan dalam arti dua lembaga pengadilan dari lingkungan badan peradilan yang berbeda memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk memeriksa dan memutus satu sengketa tertentu.

Hal itu sangat mungkin terjadi manakala ada keputusan pejabat birokrasi yang mengandung perbuatan hukum perdata, kemudian muncul sengketa dari padanya. Sengketa tersebut menimbulkan pertanyaan. Badan peradilan manakah yang memiliki yurisdiksi (kewenangan) untuk mengadili sengketa itu? Apakah kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau justeru menjadi kewenangan Peradilan Umum (Perdata)?

Di atas telah dikemukakan bahwa Keputusan Pejabat Birokrasi adalah penetapan tertulis yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara. Sementara itu tindakan pejabat birokrasi itu dapat berupa:

1) Tindakan Material;
2) Tindakan Hukum;

Tindakan Hukum dapat dibagi menjadi:

(a) Tindakan Hukum Ekstern;
(b) Tindakan Hukum Intern.

Tindakan Hukum Ekstern dapat dibagi lagi menjadi:

1) Tindakan Hukum Privat;
2) Tindakan Hukum Publik.

Tindakan Hukum Publik dapat dibagi lagi menjadi:

(a) Tindakan Hukum sepihak; dan
(b) Tindakan Hukum banyak pihak.

Tindakan Hukum Sepihak dapat dibedakan lagi menjadi:

1) Tindakan Hukum bersifat Umum;
2) Tindakan Hukum bersifat Individual.

Tindakan Hukum yang bersifat Individual dapat dibedakan lagi menjadi:

(a) Tindakan Hukum yang Abstrak;
(b) Tindakan Hukum yang Konkrit, (Irfan Fachruddin, 1994:144-145).

Dari bermacam-macam tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh pejabat Birokrasi atau Badan Tata Usaha Negara di atas, hanya tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat ekstern, publik, sepihak, individual, dan konkrit saja yang dapat menjadi objek sengketa.

Tindakan yang demikianlah yang dimaksud sebagai Keputusan yang dapat disengketakan menurut Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) [Indroharto, 1991:94]. Sedangkan tindakan-tindakan material dan tindakan hukum lainnya, apabila disengketakan akan termasuk dalam kewenangan badan Peradilan Umum.

Rumusan pasal 1 angka 2 Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 5 Tahun 1986 menyiratkan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai Pejabat Birokrasi/Pejabat Tata Usaha Negara adalah apa saja dan siapa saja berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan. Dengan demikian yang menjadi patokan bukanlah kedudukan struktural pejabat atau organ yang bersangkutan dalam jajaran pemerintahan dan bukan pula nama resminya, melainkan fungsi urusan pemerintahan. Apabila fungsi yang dijalankan adalah urusan pemerintahan, maka oleh Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dianggap sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara/Pejabat Birokrasi. Oleh karena itu suatu Badan Hukum Perdata, misalnya Perseroan Terbatas atau Yayasan dapat dianggap sebagai Badan atau Pejabat Birokrasi, jika kepada Badan Hukum tersebut diserahi tugas menjalankan urusan pemerintahan (Indroharto, 1991:64).

Salah satu yang menjadi perhatian dalam penulisan makalah ini adalah sebagaimana tercantum pada judul tulisan ini, yaitu “Keputusan Pejabat Birokrasi dan Dilema Yurisdiksi Peradilan”. Sesuatu yang hendak dikaji lebih lanjut dari masalah tersebut adalah Keputusan-keputusan Pejabat Birokrasi manakah yang apabila disengketakan keabsahannya termasuk kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dan Keputusan-keputusan macam apakah yang jika disengketakan keabsahannya akan termasuk dalam kewenangan badan Peradilan Umum? Atau bahkan mungkin menjadi “dualitas yurisdiksi” disebabkan kedua badan peradilan yang berlainan itu sama-sama memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa bersangkutan. Persoalan itulah yang dengan segala keterbatasan kemampuan penulis akan dicoba untuk ditelaah melalui makalah ini.

IV. BADAN USAHA MILIK NEGARA SEBAGAI LEMBAGA BIROKRASI

Cakupan hukum Administrasi dalam arti sempit, yakni Hukum Tata Pengurusan Rumah Tangga Negara, baik yang intern maupun ekstern, meliputi keseluruhan urusan yang menjadi tugas, kewajiban, dan fungsi negara sebagai badan organisasi juga sebagai suatu badan usaha (S. Prajudi Atmosudirdjo, 1995: 44). Oleh karena itu, PT PLN sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara/Birokrasi. Hal itu disebabkan langsung maupun tidak langsung.

PT PLN sebagai Badan Hukum Perdata Milik Negara dalam melaksanakan tugas dan fungsinya melekat pula tugas-tugas dalam menjalankan urusan pemerintahan bidang energi kelistrikan.

Apabila PT PLN keberadaannya tergolong sebagai Badan/Pejabat Birokrasi, maka ketika PT PLN sebagai Badan Birokrasi menerbitkan suatu Keputusan atau Penetapan tertulis, perlu dikaji secara saksama. Apakah Keputusan tersebut suatu Penetapan (Beschikking) ataukah merupakan suatu tindakan hukum yang bersifat keperdataan.

Sebagai satu contoh, Umpamanya, “PT Listrik Negara (PT PLN) mengadakan perjanjian jual beli tenaga listrik dengan konsumennya, baik konsumen perorangan maupun badan hukum. Di dalam perjanjian tersebut dicantumkan berbagai ketentuan dan sanksi terhadap pelanggaran isi perjanjian. Salah satu sanksi jika terjadi pelanggaran oleh konsumen adalah pemutusan aliran listrik disertai keputusan dari PT PLN bahwa konsumen harus membayar tagihan susulan”.

Dari perumpamaan di atas, tampak bahwa PT PLN sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara yang modal seluruhnya atau sebagian dikuasai oleh Pemerintah, sedikit banyak usahanya bersifat pelayanan umum. Walaupun demikian, oleh karena bentuknya adalah badan usaha apalagi sekarang merupakan PT Persero, maka tentu saja tujuan mencari untung juga merupakan target utama dari Perusahaan Milik Negara itu.

Sebagai Perusahaan Milik Negara yang bermisi pelayanan umum, PT PLN mengemban tugas juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan berupa pelayanan bidang ketenaga-listrikan. Oleh karenanya pada saat PT PLN menerbitkan Keputusan, maka Keputusan tersebut akan tergolong sebagai Keputusan dari Badan/Pejabat Birokrasi. Akan tetapi satu hal yang tidak dapat dikesampingkan bahwa PT PLN Persero sebagai Badan Hukum Perdata Milik Negara dalam melakukan hubungan hukum dengan konsumen (para pemakai jasanya) lebih banyak didasarkan pada perjanjian-perjanjian yang tunduk pada aturan-aturan hukum perdata.

Paparan contoh PT PLN yang adalah BUMN sebagai Badan/Pejabat Birokrasi di atas, dimaksudkan untuk menunjukkan betapa tidak mudahnya di dalam praktik untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan dari Pejabat Birokrasi apakah tergolong tindakannya dalam menjalankan fungsi pemerintahan atau justeru dalam rangka tindakan hukum keperdataan.

Umpamanya saja, ketika PT PLN mengeluarkan Surat Keputusan yang ditujukan terhadap konsumen untuk membayar tagihan susulan, dalam kasus pemutusan aliran listrik sebagai sanksi pelanggaran perjanjian. Apakah tindakan PT PLN di atas merupakan perbuatan yang bersifat keperdataan (privaatrechtelijk) ataukah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan (publiekrechtelijk)? “Oleh karena itu meskipun dari sisi luar mungkin perbedaan itu tampak jelas, namun jika ditelaah substansinya tidak sedikit justeru menimbulkan persoalan-persoalan yuridis yang tidak mudah menyelesaikannya. Pada sisi itulah kemudian muncul permasalahan yurisdiksi antara Peradilan Umum (yurisdiksi perdata) dengan Peradilan Tata Usaha Negara (yurisdiksi PTUN)” [Indriyanto Seno Adji, 1995: 135].

Kesulitan untuk membedakan antara perbuatan hukum perdata dengan perbuatan dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan dirasakan lebih sulit lagi jika Keputusan Pejabat Birokrasi tersebut berasal dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Persoalannya karena Pejabat Birokrasi pada BUMN semacam PT Listrik Negara (PLN), PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), dan lain-lain itu dalam menjalankan fungsi pemerintahannya lebih banyak melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang bersifat keperdataan (privaatrechtelijk). Terlebih lagi jika penerbitan Keputusan Pejabat Birokrasi itu memenuhi syarat substansial dari pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu “…bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum…”. Bila ada sengketa yang muncul dari Keputusan semacam itu secara substansial memenuhi syarat untuk diajukan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, walaupun penerbitan Keputusan Pejabat Birokrasi tersebut dilakukan dalam rangka perbuatan hukum keperdataan.

Untuk menggolongkan Keputusan Pejabat Birokrasi sebagaimana dikemukakan di atas, terdapat dua pandangan dengan pendekatan yang berlainan. Pandangan-pandangan tersebut adalah sebagai berikut: (Indriyanto Seno Adji, 1995: 148-149).

Pertama, Pendekatan Partial dan Tidak Integral; Pandangan ini bertitik tolak dari penjelasan pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang memberikan pengertian Penetapan Tertulis (dari Badan/Pejabat Birokrasi/Tata Usaha Negara) dengan tolok ukurnya pada Keputusan yang mensyaratkan adanya sifat Individual, Konkret, dan Final.

Individual (maksudnya tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju), Konkret (maknanya, objek yang diputuskan berwujud dan dapat ditentukan), dan Final (berarti, sudah definitif dan dapat menimbulkan akibat hukum). Secara Partial, Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi itu hanya dititikberatkan pada substansi Keputusan dengan sifat-sifat di atas. Tidak Integral, maksudnya Keputusan itu telah melepaskan atau mengesampingkan ada atau tidaknya perbuatan hukum perdata maupun hukum publik (dari Badan/Pejabat Birokrasi yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan berkenaan dengan perbuatan hukum). Jadi menurut pandangan yang pertama ini, tidak menjadi persoalan apakah Badan/Pejabat Birokrasi yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan pada saat diterbitkan Keputusan itu berada dalam perbuatan Hukum Perdata maupun Hukum Publik.

Berkaitan dengan pandangan yang pertama di atas, berikut ini akan dikemukakan sebuah Arrest Hoge Raad 1924 yang di Negeri Belanda dikenal dengan “Revolusi November” melalui “Ostermann Arrest”, tanggal 20 November 1924. Dari arrest tersebut akan diketahui adanya langkah atau perubahan yang besar yang dilakukan oleh Mahkamah Agung Negeri Belanda ketika itu. Hoge Raad telah menetapkan bahwa suatu badan hukum publik yang tidak menepati kewajiban hukum publiknya, telah dianggap bertindak melawan hukum dalam arti pasal 1401 Nederland Burgerlijk Wetboek (NBW) atau sama dengan pasal 1365 BW Indonesia. Atas ketentuan pasal tersebut, badan hukum publik tersebut dapat dipertanggungjawabkan untuk ganti rugi (N.E. Algra et al., 1977: 178).

Ostermann Arrest dari HR 1924 selengkapnya adalah sebagai berikut:

“Pedagang Ostermann ketika Perang Dunia kesatu ingin mengekspor sejumlah margarine (mentega), tetapi pihak duane menolak memberikan ijin yang diperlukan untuk itu. Penolakan itu terjadi berdasarkan Beslit Raja (Koninklijk Besluit) yang diambil beberapa hari sebelumnya, yang keabsahannya dibantah oleh Ostermann. Oleh karena itu Ostermann tidak dapat menjual menteganya ke luar negeri sehingga ia menderita rugi.

Kemudian ia menuntut ganti rugi dari pemerintah melalui pengadilan. Pendapat Pengadilan: Kewajiban (kalau pun ada) dari pegawai untuk memberikan ijin ekspor adalah merupakan suatu kewajiban hukum publik murni, dimana tidak dikenal segala kewajiban hukum privat, sehingga Ostermann tidak dapat menarik perlindungan hukum dari kewajiban hukum publik itu berdasarkan pasal 1401 NBW (sama dengan pasal 1365 BW Indonesia). Tuntutan Ostermann dinyatakan tidak dapat diterima. Ostermann kemudian naik banding dan kemudian kasasi ke Hoge Raad.

Pendapat Hoge Raad: Dengan perbuatan melawan hukum diartikan bukan hanya suatu perbuatan atau hal tidak berbuat yang melanggar hak seseorang, melainkan juga suatu perbuatan atau tidak berbuat, yang bertentangan dengan kewajiban hukum orang itu. Dengan demikian, maka seseorang itu telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum, yang melanggar suatu peraturan undang-undang, tanpa mempedulikan apakah peraturan itu mempunyai sifat hukum privat atau hukum publik, sama seperti seorang warga negara yang melanggar undang-undang pidana, ia juga telah melakukan perbuatan melawan hukum. Juga badan hukum publik yang bertindak melalui bagian-bagiannya, dalam memenuhi tugas pemerintahannya itu harus menepati peraturan undang-undang dan apabila hal itu tidak dilakukannya, maka dengan pemerintahan itu tanpa apa-apa telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum dan bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkannya” (N.E. Algra et al., 1977:178).

Mencermati Ostermann Arrest di atas, tampak suatu indikasi adanya perluasan yurisdiksi Peradilan Umum (Perdata) dengan dimasukannya perbuatan yang bersifat publiekrechtelijk ke dalam lingkup yurisdiksi peradilan umum. Di lain pihak bahkan dimungkinkan sebaliknya, yaitu perbuatan dari Badan/Pejabat Birokrasi dalam lingkup dan suasana yang privaatrechtelijk masuk ke dalam yurisdiksi Peradilan Tata Usaha Negara.

Kedua, Pendekatan Tidak Partial dan Integral; Kesulitan dalam menentukan apakah suatu keputusan Pejabat Birokrasi itu diterbitkan dalam rangka menyelenggarakan fungsi pemerintahan atau dalam rangka melakukan perbuatan hukum perdata, sebenarnya telah dijawab oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 itu sendiri. Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyatakan: “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini: (a) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.”

Pasal di atas sesungguhnya telah merupakan rambu atau petunjuk yang amat jelas untuk membedakan antara Keputusan Pejabat Birokrasi yang diterbitkan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan (publik) dengan yang diterbitkan dalam rangka melakukan perbuatan hukum perdata. Maksud dari pasal 2 huruf a di atas sebenarnya dalam rangka menghindarkan adanya suatu benturan yurisdiksi peradilan. Artinya apabila Badan/Pejabat Birokrasi menerbitkan suatu Keputusan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan yang bersifat keperdataan, maka pemeriksaan sah atau tidaknya Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi itu menjadi kewenangan dari Badan Peradilan Umum (Peradilan Perdata). Atau dengan kalimat lain, menurut pandangan yang kedua, yaitu pendekatan tidak partial dan integral, adalah bahwa “Tidak selalu suatu Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi, meskipun bersifat Konkret, Individual, dan Final (sebagaimana disyaratkan oleh pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986), merupakan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan memutus keabsahannya. Oleh karena apabila Keputusan itu diterbitkan oleh Badan/Pejabat Birokrasi dalam rangka menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang bercorak keperdataan, maka pemeriksaan terhadap keabsahan Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi tersebut akan menjadi kewenangan badan Peradilan Umum (Perdata)” [Indriyanto Seno Adji, 1995: 136].

Sehubungan dengan yurisdiksi Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara ini, Oemar Seno Adji dalam bukunya (1980: 314), mengemukakan bahwa “Setiap Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi yang berkenaan dengan perbuatan keperdataan menjadikan persoalan tersebut sebagai Dual Jurisdiction atau Dualitas dalam Yurisdiksi”. Selanjutnya dikemukakan, di wilayah Indonesia ini [diakui] adanya Dual Jurisdiction, yaitu adanya Peradilan Umum (Perdata) dan Peradilan Administratif (sekarang, Peradilan Tata Usaha Negara). Kemudian menjadi Unity of Jurisdiction yang dipusatkan di Mahkamah Agung, yang mengadili perkara-perkara dalam tingkat kasasi terhadap putusan terakhir, baik dari Peradilan Umum (Perdata) maupun Peradilan Tata Usaha Negara.

Serupa dengan pandangan kedua di atas, berikut ini dikemukakan kasus yang berasal dari Amsterdam, yakni kasus Café Uitkijk, Maret 1913. Kasus posisinya sebagai berikut:

“Pada bulan Maret 1913, Kotapraja mengadakan perjanjian bersyarat dengan NV Holandsche Ijzer en Spoorweg Maatschappij (HIjSM) untuk melakukan pekerjaan pembuatan Café Uitkijk. Kotapraja menentukan syarat, bahwa kerugian sebagai akibat pelaksanaan pekerjaan itu, harus memperoleh ganti rugi. Syarat tersebut diterima dengan tegas oleh NV HijSM. Pemilik Café Uitkijk, ternyata kemudian mengajukan gugatan terhadap NV HijSM karena ditemukan beberapa kekurangan dalam pekerjaan pembuatan Café tersebut. Tuntutan itu ditolak oleh tergugat (NV HijSM) dengan mengemukakan alasan bahwa tidak ada hubungan perjanjian berdasarkan hukum perdata antara ia (NV HijSM) dengan Kotapraja, sehingga tidak ada suatu janji untuk pihak ketiga yang berlaku. Pembelaan tergugat telah ditolak oleh Pengadilan. Pengadilan berpendapat bahwa janji yang dibuat ketika memberikan ijin itu adalah persetujuan menurut hukum privat, sehingga konkretnya ketentuan pasal 1353 NBW (pasal 1317 BW Indonesia) berlaku” (N.E. Algra et al., 1977: 174-175).

V. BEBERAPA KASUS YANG MENGINDIKASIKAN SIKAP MAHKAMAH AGUNG MEMBIARKAN DUALITAS YURISDIKSI

Sebagaimana diketahui, Peradilan di Indonesia menganut suatu sistem kasasi, yang juga lazim dinamakan “sistem kontinental” dan berasal dari Perancis. “Dalam sistem tersebut, Mahkamah Agung sebagai Badan Pengadilan Tertinggi merupakan Pengadilan Kasasi. Tugas Mahkamah Agung adalah membina keseragaman dalam penerapan hukum dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil”(R. Subekti, 1980: 1-2).

Di samping tugasnya di atas, Mahkamah Agung Indonesia juga merupakan Unity of Jurisdiction, atau lembaga yang menyatukan kembali yurisdiksi sebab Indonesia mengakui adanya Dual Jurisdiction atau Dualitas Dalam Yurisdiksi. Keadaan semacam itu terjadi antara lain karena Peradilan Umum (Perdata) dan Peradilan Tata Usaha Negara yang memiliki perbedaan kompetensi, namun sejajar dalam kesempatan untuk menilai keabsahan setiap Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi yang berkenaan dengan perbuatan keperdataan. Persoalan itulah yang dinamakan sebagai Dualitas Dalam Yurisdiksi.

Untuk mengetahui bagaimana sikap Mahkamah Agung di dalam praktiknya berupaya mempertautkan perbedaan kewenangan mengadili diantara dua badan peradilan yang berbeda tadi, berikut ini dipaparkan sebuah kasus menarik sebagai berikut:

“Ketika PT PLN Persero melakukan Operasi Penertiban Aliran Listrik (OPAL), PLN menemukan sejumlah kasus pelanggaran yang dilakukan oleh konsumen berupa segel rusak dan pemalsuan segel pada instalasi listrik di tempat konsumen. Terhadap temuannya itu, pihak PLN berkesimpulan bahwa selama pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (Kontrak Penyambungan Listrik) konsumen telah melanggar isi perjanjian. Sesuai kesepakatan antara konsumen dengan PT PLN di dalam Kontrak Penyambungan Listrik tersebut, akibat adanya pelanggaran itu PT PLN menghentikan aliran listrik konsumen dengan disertai penerbitan Surat Tagihan Susulan OPAL yang wajib dibayar lunas oleh konsumen. Surat Tagihan Susulan OPAL itulah yang kemudian digugat oleh konsumen di hadapan Peradilan Tata Usaha Negara. Kasus gugatan tersebut akhirnya sampai juga pada tingkat Mahkamah Agung dengan pandangan dualitas tentang yurisdiksi peradilan”.

Kasus yang dipaparkan di atas terjadi antara PT Cahaya Kencana Sakti (konsumen-Penggugat) menggugat Perum Listrik Negara (Tergugat) karena PLN menerbitkan Surat Keputusan tentang Tagihan Susulan OPAL. Pada tingkat Kasasi, terhadap kasus tersebut Mahkamah Agung dengan Ketua Majelis Ny. Karlinah Palmini Achmad Soebroto,S.H., melalui putusannya Nomor 15K/TUN/1993 tanggal 28 Februari 1993 berpendapat bahwa “gugatan terhadap Surat Keputusan PLN tentang Tagihan Susulan OPAL itu menjadi kewenangan dari Peradilan Umum”. Hal itu dapat disimak dari bunyi pertimbangannya, sebagai berikut:

“Bahwa keberatan ini dapat dibenarkan, karena objek sengketa adalah surat-surat No. 4068/832/BIKEU/1991/M, No. 4894/832/BIKEU/1991/M, dan No. 6115/832/BIKEU/1991/M., perihal Tagihan Susulan OPAL yang ditentukan kepada Penggugat sebagai pelanggan dari Pemohon Kasasi atas dasar jual beli menurut Perjanjian Tenaga Listrik bukti T-1 No.PJN/186/DIS-JAYA/845; Bahwa masalah yang timbul dari perjanjian penyambungan listrik merupakan masalah Perdata, yang adalah wewenang Peradilan Umum” (Indriyanto Seno Adji, 1995: 138-139).

Berbeda dengan penanganan kasus sebelumnya, pada kasus yang berikutnya antara PT Pluit Plastik Industries (Penggugat) yang menggugat Perum Listrik Negara (Tergugat) juga berkenaan dengan penerbitan Surat Keputusan PLN tentang Tagihan Susulan OPAL, Mahkamah Agung berpendapat lain. Melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 14K/TUN/1993 tanggal 30 Juli 1994 dengan Ketua Majelis Soerjono,S.H., Mahkamah Agung telah menolak permohonan kasasi dari Perum Listrik Negara tentang kewenangan Peradilan Umum (Perdata) untuk memeriksa sengketa keabsahan Surat Tagihan Susulan OPAL. Sebaliknya Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan PT Pluit Plastik Industries terhadap PLN atas penerbitan Surat Keputusan PLN tentang Tagihan Susulan OPAL menjadi kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Sikap Mahkamah Agung yang tertuang pada putusan MA No. 14K/TUN/1993 tanggal 30 Juli 1994 di atas, ternyata terus berlanjut pada penanganan kasus-kasus berikutnya. Sebagai contoh pada kasus-kasus berikut ini:

Combo Fast Food (Putusan No. 15K/TUN/1992); PT Inti Sarana Aksara (Putusan No. 63K/TUN/1992); PT Dharma Bumi Agricultural Enterprise (Putusan No. 65K/TUN/1992); PT Elsar Utama (Putusan No. 01K/TUN/1993); PT Star Impactama Indah (Putusan No. 03K/TUN/1993); PT Bina Cipta Sakti Permai (Putusan No. 30K/TUN/1993) [Indriyanto Seno Adji, 1995: 139].

Untuk kasus-kasus tersebut di atas, menurut Mahkamah Agung dalam putusan-putusannya, bahwa Peradilan Tata Usaha Negara-lah yang memiliki yurisdiksi untuk memeriksa dan memutus sengketa keabsahan Surat Keputusan Tagihan Susulan OPAL.

Dari dua kelompok putusan Mahkamah Agung yang berlainan di atas, tampaklah bagaimana sikap Mahkamah Agung di dalam memberikan pertim bangan putusan atas kasus yang objek sengketanya sama, tetapi putusannya akhirnya ternyata berbeda. Pada kasus antara PT Cahaya Kencana Sakti lawan PLN (Putusan No.15K/TUN/1993), Mahkamah Agung memutuskan bahwa Peradilan Umum (Perdata) yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa keabsahan Surat Keputusan Tagihan Susulan OPAL. Untuk kasus itu tampak sikap Mahkamah Agung condong ke arah pandangan kedua yakni tidak partial dan integral. Corak dari pandangan kedua itu adalah fungsi pemerintahan yang diselengarakan oleh Badan/Pejabat Birokrasi dengan merelevansikan adanya perbuatan hukum perdata (ataupun Hukum Publik).

“Maksud pandangan kedua adalah apabila Keputusan yang diterbitkan itu berada pada saat Badan/Pejabat Birokrasi menyelenggarakan fungsi pemerintahan berkenaan dengan perbuatan yang bersifat keperdataan, maka karenanya tunduk dan terikat dalam suasana Hukum Perdata, yaitu adanya hubungan kontraktual dengan asas kebebasan berkontraknya” (Indriyanto Seno Adji, 1995: 150).

Sedangkan pada penanganan kasus-kasus berikutnya, antara lain kasus PT Pluit Plastik Industries (Putusan No.14K/TUN/1993), Mahkamah Agung justeru berpendapat lain, yakni menunjuk Peradilan Tata Usaha Negara sebagai peradilan yang memiliki kewenangan. Dalam menangani kasus-kasus yang disebut terakhir Mahkamah Agung rupanya lebih condong ke arah pandangan pertama yakni partial dan tidak integral. Agaknya dalam kasus-kasus berikutnya Mahkamah Agung dalam memberikan pertimbangan putusannya lebih bertitik tolak pada segi substansi Keputusan.

Dari sikap semacam itu tampak suatu indikasi adanya extensi (perluasan) yurisdiksi Peradilan Umum (Perdata) masuk dalam lingkupnya perbuatan yang bersifat publik. Bahkan dimungkinkan sebaliknya, dengan adanya Peradilan Tata Usaha Negara, maka perbuatan dari Badan/Pejabat Birokrasi dalam lingkup dan suasana yang bersifat keperdataan masuk dalam yurisdiksi Peradilan Tata Usaha Negara.

VI. PENUTUP

Sebagai penutup dari paparan di atas, berikut ini dapat dikemukakan bebarapa butir kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, Di dalam masyarakat kebanyakan di Indonesia, istilah birokrasi sampai saat makalah ini disusun masih saja memiliki konotasi yang kurang baik. Istilah Birokrasi selalu dihubung-hubungkan dengan berbagai prosedur dan liku-liku proses yang menyulitkan masyarakat. Hal ini boleh jadi karena masyarakat diberi pengalaman yang kurang baik berkaitan dengan istilah tersebut pada masa yang lalu.

Kedua, Dalam makalah ini yang dimaksud dengan Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi dibatasi semata-mata pada Keputusan yang dikaji saja, yaitu Keputusan Pejabat PT Perusahaan Listrik Negara sebagai Badan Hukum Perdata Milik Negara. Keputusan tersebut dikategorikan sebagai Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi, karena PT PLN sebagai Badan Usaha juga mengemban fungsi pemerintahan. Akan tetapi dalam kapasitasnya sebagai pengemban fungsi pemerintahan, PT PLN juga melakukan misi pelayanan kepada masyarakat dalam bidang tenaga listrik dengan melakukan perjanjian-perjanjian dengan para konsumennya yang tunduk pada aturan-aturan hukum perdata.

Ketiga, Surat Tagihan Susulan OPAL yang dikeluarkan PT PLN tentu tergolong Surat Keputusan Badan/Pejabat Birokrasi. Walaupun substansi Surat Tagihan itu memiliki sifat keperdataan, karena berkaitan dengan pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh konsumennya, namun untuk memeriksa keabsahan Surat tersebut timbul permasalahan yurisdiksi antara Peradilan Umum (Perdata) dengan Peradilan Tata Usaha Negara.

Keempat, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi yang mengemban tugas membina keseragaman dalam penerapan hukum di Indonesia, ternyata menganut dualisme pandangan dalam masalah tersebut di atas. Hal itu tampak jelas sekali dari yurisprudensi-yurisprudensinya dalam memeriksa sengketa keabsahan Surat Keputusan tentang Tagihan Susulan OPAL. Rupanya harus diakui bahwa di dalam praktik tidak selalu mudah untuk menyelesaikan permasalahan yurisdiksi, karenanya dituntut kemampuan yang memadai dari para Hakim Agung untuk dapat memisahkan secara tegas antara perbuatan yang bernuansa keperdataan dengan yang bernuansa publik.***

DAFTAR BACAAN

ALBROW, Martin, Birokrasi (alih bahasa: M. Rusli Karim & Totok Daryanti), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.
ALGRA, N.E. et all., Mula Hukum. Bandung: Bina Cipta, 1983.
ATMOSUDIRDJO, S. Prajudi, Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995.
FACHRUDDIN, Irfan, “Kedudukan Notaris dan Akta-Aktanya dalam Sengketa Tata Usaha Negara”; dalam Varia Peradilan Tahun X No.111, Desember 1994.
INDROHARTO, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991.
KASIEPO, Manuel, “Dari Kepolitikan ke Korporatisme Negara: Birokrasi dan Politik di Indonesia Era Orde Baru”; dalam Jurnal Ilmu Politik Nomor 2, Jakarta: Gramedia, 1987.
MAS’OED, Mochtar & Colin Mac Andrew, Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989.
MOERDIONO, “Mencari Model Birokrasi Indonesia”; dalam Birokrasi dan Administrasi Pembangunan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1993.
MUHAIMIN, Yahya, “Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia”; dalam Prisma Nomor 10, Oktober 1980.
SENO ADJI, Oemar, Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1980.
SENO ADJI, Indriyanto, “Problema Yurisdiksi Peradilan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang berisi Perbuatan Hukum Perdata”; dalam
Varia Peradilan Tahun VII Nomor 81, Juni 1992.
SENO ADJI, Indriyanto,“Mahkamah Agung dan Problema Dualitas Yurisdiksi”; dalam Varia Peradilan Tahun X Nomor 114, Maret 1995.
SETIAWAN, Akhmad, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
SUBEKTI, R., Kekuasaan Mahkamah Agung R.I. Bandung: Alumni, 1980.
THOHA, Miftah, Perspektif Perilaku Birokrasi, Dimensi-dimensi Prima Ilmu Ilmu Administrasi Negara (Jilid II). Jakarta: Rajawali Pers, 1987.
TOBING, H.A., Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Jakarta: Rajawali Pers, 1991.

Minggu, 10 Juni 2012

Hukum Acara TUN

I. PENDAHULUAN

Dalam sisitem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar kekeuasaan negara, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif (Kehakiman). Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Psl 24 UUD 1945 (Perubahan) Jo. UU No. 4 Thn 2004, ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) sebagai lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat.

Dengan demikian lahirnya PERATUN juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari ketiga lembaga tersebut eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and balances. Salah satu bentuk konrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Dalam konteks inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) dibentuk dengan UU No. 5 tahun 1986, yang kemudian dengan adanya tuntutan reformasi di bidang hukum, telah disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986.

Perubahan yang sangat mendasar dari UU No. 5 Tahun 1986 adalah dengan dihilangkannya wewenang pemerintah ic. Departemen Kehakiman sebagai pembina organisasi, administrasi, dan keuangan serta dihilangkannya wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan umum bagi hakim PERATUN, yang kemudian semuanya beralih ke Mahkamah Agung. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan indepedensi lembaga PERATUN.

Di samping itu adanya pemberlakuan sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta publikasi (terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan PERATUN, menjadikan PERATUN yang selama ini dinilai oleh sebagian masyarakat sebagai “macan ompong”, kini telah mulai menunjukan “gigi” nya.

Sejak mulai efektif dioperasionalkannya PERATUN pada tanggal 14 Januari 1991 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991, yang sebelumnya ditandai dengan diresmikannya tiga Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang, serta lima Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang. Kemudian berkembang, dengan telah didirikannya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di seluruh Ibu Kota Propinsi sebagai pengadilan tingkat pertama. Hingga saat ini eksistensi dan peran PERATUN sebagai suatu lembaga peradilan yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan mengadili sengketa tata usaha negara antara anggota masyarakat dengan pihak pemerintah (eksekutif), dirasakan oleh berbagai kalangan belum dapat memberikan kontribusi dan sumbangsi yang memadai di dalam memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat serta di dalam menciptakan prilaku aparatur yang bersih dan taat hukum, serta sadar akan tugas dan fungsinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat.

Sesuai dengan tujuan penyampaian materi ini, sebagai pembekalan kepada para aparat/pejabat publik, yang diharapkan dapat memiliki pengetahuan tentang ruang lingkup PERATUN, subjek dan objek, serta proses beracara di persidangan. Oleh karenanya dalam makalah ini penulis titik beratkan pada masalah Hukum Acara (Hukum Formil) di Peratun, namun demikian penulis juga menyajikan sekilas tentang Hukum Materil sebagai pengantar pembahasan Hukum Formil di Peratun. Hal ini bertujuan agar dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai aparatur pemerintah, dapat diantisipasi/dihindarkan permasalahan-permasalahan yang dapat menimbulkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (Tujuan Prefentif). Di samping itu jika terjadi juga gugatan tersebut, para pejabat terkait sudah dapat memahami tindakan-tindakan yang harus dilakukan berkaitan dengan adanya gugatan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara, atau dengan kata lain sudah dapat mengetahui bagaimana proses persidangan/mekanisme beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara (Tujuan Refresif).

Penyajian makalah ini sengaja penulis sampaikan selengkap mungkin dengan tujuan memanfaatkan forum ini sebagai sarana sosialisasi Peratun, khususnya bagi para aparat pemerintah , karena memang harus diakui masih banyak kalangan masyarakat yang merasa asing dengan lembaga Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun).

II. RUANG LINGKUP, TUGAS DAN WEWENANG PERATUN

Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai tugas dan wewenang : “memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku“ (vide Pasal 50 Jo. Pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004).

Berdasarkan uraian tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa yang menjadi subjek di Peratun adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat, dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat . Sementara itu yang menjadi objek di Peratun adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking). Subjek dan Objek gugatan di Peratun ini lebih lanjut akan dijelaskan dalam pembahasan mengenai unsur-unsur dari suatu Surat Keputusan TUN berikut ini.

Pengertian dari Surat Keputusan TUN disebutkan dalam Pasal 1 angka 3, yaitu :

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”

Selanjutnya dari pengertian ataupun definisi Keputusan TUN tersebut di atas, dapat diambil unsur-unsur dari suatu Keputusan TUN, yang terdiri dari :

1. Bentuk Penetapan tersebut harus Tertulis

Penetapan Tertulis itu harus dalam bentuk tertulis, dengan demikian suatu tindakan hukum yang pada dasarnya juga merupakan Keputusan TUN yang dikeluarkan secara lisan tidak masuk dalam pengertian Keputusan TUN ini. Namun demikian bentuk tertulis tidak selalu disyaratkan dalam bentuk formal suatu Surat Keputusan Badan/Pejabat TUN, karena seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986, bahwa syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk formalnya akan tetapi asal terlihat bentuknya tertulis, oleh karena sebuah memo atau nota pun dapat dikategorikan suatu Penetapan Tertulis yang dapat digugat (menjadi objek gugatan) apabila sudah jelas :
  • Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkannya.
  • Maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu.
  • Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas bersifat konkrit, individual dan final.
  • Serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.
 2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.

Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. 

Selanjutnya mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :

“Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN.

Sedang yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peratun.

3. Berisi Tindakan Hukum TUN.

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN. 

4. Berdasarkan Peraturan Per UU an yang Berlaku.

Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN (pemerintah). Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan bahwa wewenang Badan atau Pejabat TUN untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

5. Bersifat Konkret, Individual dan Final.

Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, seperti Pemberhentian si X sebagai Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y dan sebagainya.

Bersifat Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun hal yang dituju. Jadi sifat indivedual itu secara langsung mengenai hal atau keadaan tertentu yang nyata dan ada. 

Bersifat Final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus sudah menimbulkan akibat hukum yang definitif. Dengan mengeluarkan suatu akibat hukum yang definitif tersebut ditentukan posisi hukum dari satu subjek atau objek hukum, hanya pada saat itulah dikatakan bahwa suatu akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh Keputusan TUN yang bersangkutan secara final. 

6. Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang / Badan Hukum Perdata.

Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum yang telah ada, menetapkan suatu status dan sebagainya.

Di samping pengertian tentang Keputusan TUN dalam pasal 1 angka 3 tersebut diatas, dalam UU Peratun diatur juga ketentuan tentang pengertian yang lain dari Keputusan TUN, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3, sebagai berikut :
  1. Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
  2. Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedang jangka waktu sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
  3. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2); maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.”
Ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasan dari pengertian Keputusan TUN sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3 diatas, yang disebut dengan Keputusan TUN yang Fiktif atau Negatif.

Uraian dari ayat (1) Pasal 3 tersebut merupakan prinsip dasar bahwa setiap Badan atau Pejabat TUN itu wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang diterimanya, yang menurut aturan dasarnya menjadi tugas dan kewajibannya dari Badan atau Pejabat TUN tersebut. Oleh karenanya apabila badan atau Pejabat TUN melalaikan kewajibannya, maka walaupun ia tidak mengeluarkan keputusan terhadap suatu permohonan yang diterimanya itu, ia dianggap telah bertindak menolak permohonan tersebut.

Ada kalanya dalam aturan dasarnya ditentukan jangka waktu penyelesaian dari suatu permohonan, maka sesuai dengan ketentuan ayat (2) Pasal 3 tersebut, setelah lewat waktu yang ditentukan oleh aturan dasarnya, Badan atau Pejabat TUN belum juga menanggapinya (mengeluarkan keputusan) maka ia dianggap telah menolak permohonan yang diterimanya.

Sementara itu dalam ayat (3) nya menentukan bahwa apabila aturan dasarnya tidak menyebutkan adanya batas waktu untuk memproses penyelesaian suatu permohonan yang menjadi kewajibannya, maka setelah lewat waktu 4 bulan Badan atau Pejabat TUN tersebut belum juga mengeluarkan keputusan, maka ia juga dianggap telah menolak permohonan yang diterimanya. Secara keseluruhan, ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasandari pengertian Keputusan TUN (memperluas kompetensi pengadilan).

Selanjutnya disamping ketentuan yang memperluas pengertian Keputusan TUN sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 diatas, juga UU Peratun mengatur tentang ketentuan yang mempersempit pengertian dari Keputusan TUN (mempersempit kompetensi pengadilan), artinya secara definisi masuk dalam pengertian suatu Keputusan TUN seperti dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, akan tetapi secara substansial tidaklah dapat dijadikan objek gugatan di Peratun. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 49, yang menyebutkan :

“Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :

a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”


Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan pengecualian dari Pengertian Keputusan TUN, yaitu :“
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini :
  1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
  2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
  3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
  4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
  5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
  7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.

III. HUKUM ACARA PERATUN

3.1. Karakteristik Hukum Acara Di Peratun.

Secara sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang bertujuan untuk mempertahankan Hukum Materil. Hal-hal yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya di atas, merupakan ketentuan-ketentuan tentang Hukum Materil di Peratun. Sementara itu mengenai Hukum Formilnya juga diatur dalam UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, mulai dari Pasal 53 s/d Pasal 132.

Penggabungan antara Hukum Materil dan Hukum Formil ini merupakan karakteristik tersendiri yang membedakan Peradilan TUN dengan Peradilan lainnya. Untuk mengantarkan pada pembahasan tentang Hukum Acara di Peratun ini, terlebih dahulu akan diuraikan hal-hal yang merupakan ciri atau karakteristik Hukum Acara Peratun sebagai pembeda dengan Peradilan lainnya, khususnya Peradilan Umum (Perdata), sebagai berikut : 
  • Adanya Tenggang Waktu mengajukan gugatan (Pasal 55).
  • Terbatasnya tuntutan yang dapat diajukan dalam petitum gugatan Penggugat (Pasal 53).
  • Adanya Proses Dismissal (Rapat Permusyawaratan) oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) (Pasal 62).
  • Dilakukannya Pemeriksaan Persiapan sebelum diperiksa di persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 63).
  • Peranan Hakim TUN yang aktif (dominus litis) untuk mencari kebenaran materil (Pasal 63, 80, 85, 95 dan 103).
  • Kedudukan yang tidak seimbang antara Penggugat dengan Tergugat, oleh karenanya “konpensasi” perlu diberikan karena kedudukan Penggugat diasumsikan dalam posisi yang lebih lemah dibandingkn dengan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik.
  • Sistem pembuktian yang mengarah pada pembuktian bebas yang terbatas (Pasal 107).
  • Gugatan di pengadilan tidak mutlak menunda pelaksanaan Keputusan TUN yang digugat (Pasal 67).
  • Putusan Hakim yang tidak boleh bersifat ultra petita yaitu melebihi apa yang dituntut dalam gugatan Penggugat, akan tetapi dimungkinkan adanya reformatio in peius (membawa Penggugat pada keadaan yang lebih buruk) sepanjang diatur dalam perundang-undangan.
  • Putusan hakim TUN yang bersifat erga omnes, artinya putusan tersebut tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, akan tetapi berlaku juga bagi pihak-pihak lainnya yang terkait.
  • Berlakunya azas audi et alteram partem, yaitu para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim menjatuhkan putusan. 

3.2. Gugatan.

3.2. 1. Pengertian Gugatan.

Mengenai pengertian dari gugatan dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5, sebagai berikut :

“Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapat putusan”

Gugatan di Peratun diajukan oleh seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN. Oleh karenanya unsur adanya kepentingan dalam pengajuan gugatan merupakan hal yang sangat urgen dalam sengketa di Peratun. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 53 ayat (1), sebagai berikut :

“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar KeputusanTata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.”

Dari ketentuan Pasal 53 ayat (1) ini menjadi dasar siapa yang bertindak senagai Subjek Penggugat di Peratun, yaitu Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN.

Selanjutnya Pasal 53 ayat (2) menyebutkan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan, adalah:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Suatu gugatan yang akan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara harus memuat hal-hal yang merupakan syarat formil suatu gugatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56, yaitu :
a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan penggugat atau kuasanya.
b. nama jabatan, dan tempat tinggal tergugat.
c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan.

3.2.2. Pengajuan gugatan.

Menurut Pasal 54 ayat (1) gugatan sengketa TUN diajukan secara tertulis kepada Pengadilan berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat. Gugatan yang diajukan harus dalam bentuk tertulis, karena gugatan itu akan menjadi pegangan bagi pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan.

Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara, gugatan diajukan pada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan diajukan kepada pengadilan tempat kedudukan Penggugat untuk diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan. Sedangkan apabila Penggugat dan Tergugat berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, dan apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat diluar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di tempat kedudukan Tergugat.

Salah satu kekhususan di Peratun juga berkaitan dengan fungsi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang bukan saja sebagai pengadilan tingkat banding, akan tetapi juga mempunyai fungsi sebagai pengadilan tingkat pertama seperti halnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini terjadi apabila sengketa TUN tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, yaitu yang mengatur tentang upaya banding administratif. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, sebagai berikut :

“Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48”.

Berhubung sengketa TUN selalu berkaitan dengan keputusan Tata Usaha Negara, maka pengajuan gugatan ke Pengadilan dikaitkan pula dengan waktu dikeluarkannya keputusan yang bersangkutan.

Pasal 55 menyebutkan bahwa :

“Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan”. 

Dalam hal gugatan didasarkan pada alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (Keputusan Fiktif-Negatif), maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari itu, dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.

Seandainya peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya tidak menentukan tenggang waktunya, maka dihitung sejak sejak lewatnya tenggang waktu 4 (empat) bulan yang dihitung sejak diterimanya permohonan yang bersangkutan. Bilamana tenggang waktu tersebut diatas telah lewat, maka hak untuk menggugat menjadi gugur karena telah daluarsa.

Diajukannya suatu gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada prinsipnya tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Namun demikian Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan agar Surat Keputusan yang digugat tersebut ditunda pelaksanaannya selama proses berjalan, dan permohonan tersebut hanya dapat dikabulkan oleh pengadilan apabila adanya alasan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat akan sangat dirugikan jika Keputusan TUN yang digugat itu tetap dilaksanakan (Pasal 67 ayat 4 a).

3.3. Pemeriksaan di persidangan 

3.3. 1. Pemeriksaan Pendahuluan.

Berbeda dengan peradilan lainnya, Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai suatu kekhususan dalam proses pemeriksaan sengketa, yaitu adanya tahap Pemeriksaan

Pendahuluan .

Pemeriksaan Pendahuluan ini terdiri dari :

a. Rapat permusyawaratan/Proses Dismissal (Pasal 62).
b. Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63). 

Ad. a. Rapat Permusyawaratan (Proses Dismissal) :

Rapat permusyawaratan yang disebut juga dengan Proses Dismissal atau tahap penyaringan yang merupakan wewenang Ketua Pengadilan, diatur dalam Pasal 62. Dalam proses dismissal ini Ketua Pengadilan, setelah melalui pemeriksaan administrasi di kepaniteraan, memeriksa gugatan yang masuk. Apakah gugatan tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam UU Peratun dan apakah memang termasuk wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengadilinya.

Dalam proses dismissal Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan tidak diterima atau tidak berdasar, apabila :

a. Pokok gugatan, yaitu fakta yang dijadikan dasar gugatan, nyata-nyata tidak termasuk wewenang Pengadilan.
b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diperingatkan.
c. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.
e. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara mengenai hal ini diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan, dengan memanggil kedua belah pihak.

Terhadap penetapan ini dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah diucapkan.

Perlawanan tersebut harus dengan memenuhi syarat-syarat seperti gugatan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 56.

Perlawanan diperiksa oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dengan acara singkat, yang dilakukan oleh Majelis Hakim. Apabila perlawanan tersebut diterima atau dibenarkan oleh Pengadilan yang bersangkutan melalui acara singkat, maka Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara yang diambil dalam rapat permusyawaratan tersebut dinyatakan gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa. Terhadap putusan pengadilan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum seperti banding dan kasasi, karena putusan tersebut dianggap sebagai putusan tingkat pertama dan terakhir, sehingga telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 

Ad. b. Pemeriksaan Persiapan.

Pemeriksaan persiapan diadakan mengingat posisi Penggugat di Peratun pada umumnya adalah warga masyarakat yang diasumsikan mempunyai kedudukan lemah dibandingkan dengan Tergugat sebagai Pejabat Tata Usaha Negara sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Dalam posisi yang lemah tersebut sangat sulit bagi Penggugat untuk mendapatkan informasi dan data yang diperlukan untuk kepentingan pengajuan gugatan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.

Pemeriksaan Persiapan dilakukan di ruang tertutup bukan di ruang persidangan yang terbuka untuk umum. Dalam Pemeriksaan Persiapan Hakim wajib dan berwenang untuk : 
  • Memberikan nasehat atau arahan-arahan kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatannya dan melengkapai surat-surat atau data-data yang diperlukan dalam tenggang waktu 30 hari.
  • Meminta penjelasan kepada pihak Tergugat mengenai segala sesuatu yang mempermudah pemeriksaan sengketa di persidangan
  • Apabila jangka waktu 30 hari yang ditetapkan untuk memperbaiki gugatannya tersebut tidak dipenuhi oleh Penggugat, maka Majelis Hakim akan memberikan putusan yang menyatakan gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, dan atas putusan tersebut tidak ada upaya hukum, namun masih dapat diajukan gugatan baru.
3.3.2. Pemeriksaan Tingkat Pertama.

Pemeriksaan di tingkat pertama pada umumnya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), terkecuali untuk sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, sengketa tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administratif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 48 UU Peratun, maka pemeriksaan di tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).

Pemeriksaan ditingkat pertama ini dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara :

a. Pemeriksaan dengan acara biasa.
b. Pemeriksaan dengan acara cepat.

Dalam proses pemeriksaan sengketa TUN dimungkinkan pula adanya pihak ketiga yaitu orang atau badan hukum perdata untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan suatu sengketa yang sedang berjalan (Pasal 83).

3.4. Putusan Pengadilan

Dalam hal pemeriksaan sengketa telah selesai, mulai dari jawab menjawab, penyampaian surat-surat bukti dan mendengarkan keterangan saksi-saksi, maka selanjutnya para pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan yang merupakan pendapat akhir para pihak yang bersengketa (Pasal 97 ayat 1). Setelah kesimpulan disampaikan, kemudian hakim menunda persidangan untuk bermusyawarah guna mengambil putusan.

Putusan pengadilan yang akan diambil oleh hakim dapat berupa ( Pasal 97 ayat (7) ) :

a. Gugatan ditolak.
b. Gugatan dikabulkan.
c. Gugatan tidak diterima.
d. Gugatan gugur.

Terhadap gugatan yang dikabulkan, maka pengadilan akan menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan kepada Badan atau Pejabat TUN selaku Tergugat, yaitu berupa ( Pasal 97 ayat (9) ) :

a. Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan.
b. Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru.
c. Penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.

Disamping kewajiban-kewajban tersebut pengadilan juga dapat membebankan kewajiban kepada Tergugat untuk membayar ganti rugi dan pemberian rehabilitasi dalam hal menyangkut sengketa kepegawaian.

IV. UPAYA HUKUM

4.1. Upaya Hukum Banding.

Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 UU Peratun terhadap putusan PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).

Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut.

Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut.

Para pihak dapat menyerahkan memori atau kontra memori banding, disertai surat-surat dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa salinan memori dan kontra memori banding diberikan kepada pihak lawan dengan perantara Panitera Pengadilan (Pasal 126).

Pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi TUN berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan sendiri untuk pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan.

Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi tersebut beserta surat-surat pemeriksaan dan surat-surat lain kepada Pengadilan TUN yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama, dan selanjutnya meneruskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 127).

Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan setiap saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut permohonan pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau (Pasal 129).

4.2. Upaya Hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali.

Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal 131 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No.14 Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan Agama atau oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut ketentuan UU ini. Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung.

Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas terhadap putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 132 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa :

Ayat (1) : “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung.” 

Ayat (2) : “Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.”

V. PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN

Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan hanyalah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, demikian ditegaskan dalam Pasal 115 UU Peratun.

Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya bahwa terhadap putusan tersebut telah tidak ada lagi upaya hukum, atau dapat juga masih ada upaya hukum akan tetapi oleh para pihak upaya hukum tersebut tidak ditempuh dan telah lewat tenggang waktu yang ditentukan oleh UU.

Sebagai contoh, putusan PTUN Yogyakarta seharusnya dapat diajukan upaya hukum banding ke PTTUN Surabaya, akan tetapi karena telah lewat waktu 14 hari sebagaimana yang ditetapkan UU, para pihak tidak ada yang mengajukan upaya hukum tersebut, sehingga putusan PTUN Yogyakarta tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang kemudian dapat diajukan permohonan eksekusinya.

Mengenai mekanisme atau prosedur eksekusi ini diatur dalam Pasal 116 s/d 119 UU Peratun.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, dengan lahirnya UU No. 9 Tahun 2004, putusan Peratun telah mempunyai kekuatan eksekutabel. Hal ini dikarenakan adanya sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta publikasi terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan Peratun.

Lebih lanjut Pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004, menyebutkan prosedur eksekusi di Peratun, sebagai berikut :

  1. Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.
  2. Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan yang diperseketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
  3. Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) haruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
  4. Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
  5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Sumber: www.albatrozz.wordpress.com