Kamis, 05 April 2012

ini dia BUDY MULJADI, MENAPAKI JALAN PANJANG KOMODO (BUSWAY GANDENG)


Berbicara bus gandeng yang beroperasi di Indonesia, khususnya Jakarta, yang terlintas adalah pasti diimport dari luar negeri. Lebih spesifik lagi pasti dari China. Mungkin tak ada salahnya pendapat itu, karena dua tahun belakangan ini ASEAN – China Free Trade Agreement (perjanjian perdagangan ASEAN dan China - ACFTA) sedang gencar-gencarnya. Alhasil banyak produk China masuk ke negara-negara ASEAN termasuk Indonesia. Apalagi, beberapa unit bus gandeng yang beroperasi untuk bus Transjakarta memang didatangkan utuh dari China.

Tak banyak orang yang mengetahui sepak terjang PT. Asian Auto Internasional. Adalah Budy Muljadi, Direktur Produksi PT AAI, yang menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya perakitan bus gandeng di Indonesia. PT AAI ini sejak hampir empat tahun silam memproduksi bus gandeng berlabel KOMODO.

“Awalnya dari pertemuan meja kecil saja antara saya dan beberapa teman. Saya dan beberapa teman berpikir, kami bisa, bangsa Indonesia mampu merakit bus gandeng,” ujar Budy sambil menerawang.

Merakit bus sendiri adalah cita-cita Budy sejak lama. Wajar, di dalam dirinya mengalir darah kreatif karoseri bus. Sebelum di AAI, tak kurang dari 15 tahun Budy berkiprah bersama keluarga besarnya di Rahayu Santosa, salah satu karoseri besar di Indonesia.

Tak puas hanya membentuk body bus, Budy banyak belajar dan berdiskusi dengan berbagai kalangan. Hingga akhirnya dia dipertemukan dengan seorang pengusaha Malaysia M. Aman. “Agak nekat juga kalo dipikir-pikir waktu itu. Kami mulai satu-satu. Dari bengkel kecil kami mengutak-atik chasis, cari mesin yang cocok sampai akhirnya nemu formula awal untuk prototype kami,” kata dia.

Jalan panjang pun ditempuh. Serangkaian tes, kegagalan, sampai akhirnya terwujud sebuah bus gandeng. Begitu bus tercipta, jalan berliku harus ditempuh. Tak cukup melengkapi perijinan. Uji kelayakan dari pihak-pihak terkait, hingga kepercayaan akan kualitas bus ini bukanlah hal yang mudah diraih. Maklum, bus gandeng hanya bisa ditemui berkeliaran bebas di jalan-jalan negeri tetangga.



Satu persatu upaya menumbuhkan kepercayaan dibangun. Prototype KOMODO dipamerkan di berbagai kesempatan. Mulai pameran di Kementerian Perindustrian, hingga sempat ‘mampir’ di halaman Istana Wakil Presiden di tahun 2007. “Wah bagus juga bus ini,” begitu Jusuf Kalla, Wakil Presiden saat itu.

Dan kepercayaan pun datang, saat PT Ekasari Lorena ikut dalam pengadaan bus TransJakarta koridor V. KOMODO yang identik dengan warisan hayati Indonesia yang mendunia ini, akhirnya beroperasi melayani warga Jakarta. Meski hanya 13 unit, perlahan namun pasti kepercayaan itu mulai didapat. Tahun 2010 PT AAI ikut pengadaan bus TransJakarta, dan 25 unit KOMODO dibuat untuk Koridor IX dan X. “Sebelumnya Empat unit juga dibeli PPD untuk TransJakarta di 2010, jadi total KOMODO yang sudah beroperasi di Jakarta ada 42 unit,” kata Budy.

Di workshopnya di Selatan Jakarta, Budy memimpin produksi dua hingga tiga unit chasis KOMODO per minggunya. Ini tentu jauh dari kesan sebuah pabrik besar. Namun, ilmu rancang bangun bus dan semangat orang-orang yang terlibat dalam pusat perakitan ini patut menjadi panutan.

Rekayasa teknologi ini ternyata juga mereka patenkan. Bus gandeng KOMODO ini bukan yang pertama kali di Indonesia, ada INOBUS. Tetapi KOMODO adalah bus gandeng pertama yang dibuat secara massal di Indonesia. Wajar jika PT AAI mendaftarkan produknya ke Kemenhukham. “KOMODO tidak seperti bus-bus gandeng yang banyak di produksi negara lain di dunia karena lantainya yang tinggi. Umumnya, bus gandeng berlantai berlantai rendah,” ujar Budy merendah.



Hasil kerja keras PT AAI untuk melahirkan KOMODO juga diakui pemerintah. Akhir 2008 Anugerah Rintisan Teknologi Industri 2008 yang diserahkan langsung Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono untuk inovasi KOMODO. Di tengah Gerakan 100 persen CINTA Produk Indonesia, karya anak bangsa yang belakangan bergaung, KOMODO menjadi kebanggaan Indonesia dalam sejarah perkembangan industri bus dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar