Peningkatan produksi hingga 353% selama lima tahun ke depan adalah syarat wajib untuk bisa
menjadi produsen perikanan utama dunia. Namun hal itu tak akan bisa terwujud jika kegiatan
budidaya perikanan masih saja dihantui penyakit. Secara finansial, kejadian penyakit tersebut
menimbulkan kerugian yang tak sedikit.
Lihat saja catatan Direktorat Perikanan Jenderal Budidaya (DJPB). Pada 2007, terjadi kasus
penyakit di 13 provinsi dengan total kerugian Rp 27,5 miliar. Pada tahun yang sama pula terjadi
KHV (Koi Herpes Virus) di 3 lokasi sentra budidaya yakni di Sumatera Barat, Jawa Barat dan
Kalimantan Selatan dengan kerugian mencapai Rp 49 juta. Sementara itu pada 1994, serangan
virus white spot pada udang telah mengakibatkan kerugian mencapai
Rp 100 miliar. Bahkan pada 2006, serangan penyakit menyebabkan larangan perdagangan
ikan mas dan koi antar pulau sehingga berdampak pada munculnya pengangguran dan masih
banyak lagi lainnya.
Celakanya, akibat munculnya kasus penyakit itu produk perikanan Indonesia sempat
mengalami penolakan di pasar internasional. Sebut saja pada periode Januari – Februari 2007
dengan kerugian mencapai Rp 50 miliar. Sementara pada bulan berikutnya di tahun yang
sama, ekspor udang windu ke Jepang sebanyak 16,2 ton juga mengalami penolakan.
Sedangkan pada 1997, ekspor kekerangan terkena embargo dan menyebabkan kerugian
ekonomi sebesar Rp 188 milyar.
Dari sejarah kasus penyakit inilah maka kesehatan ikan dan lingkungan mutlak jadi perhatian.
Terkait hal ini Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan – Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya (DJBP) telah mempersiapkan strategi khusus dalam pengembangan sistem
kesehatan ikan dan lingkungan. Direktur Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Murdjani dalam
Forum Akselerasi Pembangunan Perikanan Budidaya 2010 – 2014 beberapa waktu lalu di
Batam menyatakan, untuk membentuk kawasan budidaya yang sehat sehingga bisa
mendukung upaya peningkatan produksi maka dilakukan dengan beberapa cara. Yaitu
memberikan perlindungan lingkungan, pengendalian obat ikan dan kimia, standarisasi
kesehatan ikan dan lingkungan, pengendalian residu serta pengendalian hama penyakit ikan.
Langkah Perlindungan
Sementara itu sebagai langkah perlindungan lingkungan dilakukan dengan cara pemantauan
dan evaluasi perlindungan lingkungan budidaya. Selanjutnya juga dengan peningkatan kualitas
lingkungan budidaya melalui restocking ikan trofik level rendah di perairan umum daratan,
perlindungan ikan spesifik lokal potensial budidaya dan rehabilitasi lingkungan budidaya.
Sedangkan untuk kegiatan pengendalian obat ikan, bahan kimia dan biologi dilakukan dengan
cara Perencanaan Tahunan Pengendalian Obat Ikan dan Kimia Nasional (Petapoiknas).
Kemudian juga dengan monitoring evaluasi dan pengendalian obat ikan, kimia dan bahan
biologi. Disampping itu juga dilakukan registrasi obat ikan, penerbitan izin usaha obat ikan serta
penerbitan rekomendasi impor.
Pengendalian hama penyakit ikan (HPI) dilakukan langkah-langkah seperti pemberian vaksinasi
dan imunostimulan, pengembangan obat ramah lingkungan, monitoring dan surveilance
(pengawasan) HPI, pemetaan penyebaran HPI, penerapan biosecurity di kawasan budidaya
serta penerapan Analisa Risiko Impor (ARI).
Selanjutnya ada kegiatan standardisasi kapasitas laboratorium. Antara lain dilakukan dengan
cara pengelolaan laboratorium yang memenuhi standar kelayakan teknis (GLP; ISO 17025),
merumuskan standar metode uji (SNI;POS), peningkatan kompetensi petugas laboratorium,
pengembangan Balai Penyidikan Penyakit Ikan dan Lingkungan (laboratorium level III) di Anyer
– Banten sebagai laboratorium rujukan serta pengembangan jejaring kerja laboratorium dalam
dan luar negeri.
Untuk monitoring residu dilakukan dengan cara penyusunan National Residu Control Plan
(NRCP). Lalu monitoring dan pengendalian residu dengan prioritas komoditas unggulan pada
wilayah provinsi yang ditentukan, harmonisasi peraturan nasional dan internasional serta
koordinasi tindak lanjut pengendalian residu. (Rd)
sumber : http://www.perikanan-budidaya.dkp.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar