Tampilkan postingan dengan label Penyakit Ikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penyakit Ikan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 31 Maret 2012

Penyakit Akibat Lingkungan : Suhu tinggi atau suhu rendah

Suhu tinggi atau suhu rendah

Ikan merupakan binatang berdarah dingin (poikilothermal) sehingga metabolisms yang berlangsung di dalam tubuh tergantung pada suhu lingkungannya, termasuk kekebalan tubuh. Suhu rendah akan mengurangi imunitas atau kekebalan tubuh, sedangkan suhu tinggi dapat mempercepat terjadinya infeksi bakteri.


Pengaruh aklimatisasi atau adaptasi dapat ditoleransi oleh jenis ikan tertentu. Penurunan atau kenaikan suhu yang berlangsung secara perlahan mungkin tidak terlalu berbahaya bagi ikan. Namun, perubahan yang terlalu cepat atau drastis akan membahayakan ikan.

Suhu optimal bagi kehidupan ikan hias tropis antara 24-27° C, tergantung jenis ikan. Batas toleransi ke suhu tinggi bisa mencapai 35° C dan ke suhu rendah 18° C. Untuk koi dan ikan mas, suhu optimalnya lebih rendah, sekitar 20-22° C. Namun, saat ini ikan-ikan tersebut sudah mulai beradaptasi dengan suhu lebih tinggi, terutama maskoki.

Suhu terlalu rendah dapat menyebabkan ikan tidak aktif, sering berkumpul atau bergerombol dan tidak mau berenang, serta mudah terserang penyakit jamur atau penyakit parasit. Sementara suhu terlalu tinggi akan memudahkan ikan terserang infeksi bakteri.
Tindakan pcncegahan terhadap penyakit ini harus disesuaikan dengan kondisi suhu.

Kalau suhu rendah, sebagian kolam dapat ditutup dengan seng atau papan dan kedalaman air dikurangi. Pada akuarium yang ditempatkan di ruangan, pencegahannya dengan pemberian lampu atau heater (pemanas) agar menjadi pands. Sementara kalau kondisi suhu tinggi, kedalaman air kolam dapat ditambah.

sumber : Dart S.L, Iwan D. Penebar swadaya 2006

Kamis, 01 September 2011

Penyakit Udang : Penyakit Yellowhead

Penyakit Udang : Penyakit Yellowhead



Penyebab : Yellow Head Virus (YHD), corona-like RNA virus (genus Okavirus, family Ronaviridae dan ordo Nidovirales)



Bio – Ekoloi Patogen :

• Krustase yang sensitif terhadap infeksi virus ini antara lain: Penaeus monodon, P. merguensis, P. semisulcatus, Metapenaeus ensis, Litopenaeus vannamei, dll.

• Udang windu merupakan jenis udang yang sangat sensitif, pada kasus akut dapat mengakibatkan kematian hingga 100% dalam tempo 3.5 hari sejak pertama kali gejala klinis muncul.

• Penularan terjadi secara horizontal melalui air atau kanibalisme terhadap udang yang sedang sakit atau pakan yang terinfeksi virus.

• Post larvae (PL) udang windu berumur < 15 hari relatif resisters terhadap infeksi virus ini dibandingkan dengan PL yang berumur 20-25 hari atau juvenil.

• Secara molekuler (sequencing DNA) dari produk reverse-transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) virus yellow head memiliki kemiripan dengan gill-associated virus (GAV), meskipun berbeda jenis atau strain.





Gejala Klinis

• Juvenil udang berukuran antara 5-15 gram memiliki nafsu makan yang tinggi (abnormal) selama beberapa hari, untuk selanjutnya berhenti (menolak) makan secara tiba-tiba.

• Sekitar 3 hari setelah menolak makan, mulai terjadi kematian massal

• Udang yang sekarat berkumpul di dekat permukaan air atau ke sisi pematang kolam/tambak

• Insang berwarna putih, kuning atau coklat

• Cephalothorax berwarna kekuningan, sedangkan bagian tubuh lain berwarna pucat



Penyakit ini dapat menimbulkan kematian massal dalam waktu 2-4 hari



Diagnosa :

Polymerase Chain Reaction (PCR)



Pengendalian :

• Gunakan benur yang benar-benar bebas YHV/SPF

• Menjaga status kesehatan udang agar selalu prima melalui pemberian pakan yang tepat jumlah dan mutu

• Menjaga kualitas lingkungan budidaya agar tidak menimbulkan stress bagi udang





• Lakukan pemanenan di tambak/kolam pada saat terjadinya serangan penyakit, pemanenan dini tidak dapat mengurangi tetapi hanya mengeliminasi kerugian ekonomi.

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, 2010





Selasa, 07 Juni 2011

Penyakit Ikan : Ice-ice Pada Rumput Laut



Ice-ice Pada Rumput Laut

Penyebab : Faktor Lingkungan dan beberapa jenis bakteri: Pseudoalteromonas gracilis, Pseudomonas spp.. dan Vibrio spp.



Bio – Ekologi Patogen :
• Kasus ice-ice pada budidaya rumput laut dipicu oleh fluktuasi parameter kualitas air yang ekstrim (kadar garam, suhu air, bahan organik terlarut dan intensitas cahaya matahari).
• Pemicu lain adalah serangan hama seperti ikan baronang, penyu hijau, bulu babi dan bintang laut menyebabkan luka pada thallus, sehingga mudah terinfeksi oleh mikroorganisme.
• Pada keadaan stress, rumput laut akan membebaskan substansi organik yang menyebabkan thallus berlendir dan merangsang bakteri tumbuh melimpah di sekitarnya.
• Pertumbuhan bakteri pada thallus akan menyebabkan bagian thallus menjadi putih dan rapuh. Selanjutnya, mudah patah, dan jaringan menjadi lunak yang menjadi ciri penyakit ice-ice.
• Penyebaran penyakit ini dapat terjadi secara vertikal (dari bibit) atau horizontal melalui perantaraan air.





Gejala klinis :
• Penyakit ini ditandai dengan timbulnya bintik / bercak-bercak merah pada sebagian thallus yang lama kelamaan menjadi kuning pucat dan akhirnya berangsur-angsur menjadi putih. Thallus menjadi rapuh dan mudah putus.
• Gejala yang diperlihatkan adalah pertumbuhan yang lambat. terjadinya perubahan warna menjadi pucat dan pada beberapa cabang thallus menjadi putih dan membusuk.

Diagnosa :
• Pengamatan secara visual dan mikrobiologis.

Pengendalian :
• Penggunaan bibit unggul merupakan cara yang sangat penting untuk pengendalian penyakit ice-ice.
• Desinfeksi bibit dapat dilakukan dengan cara dicelupkan pada larutan PK (potasium permanganat) dengan dosis 20 PPM
• Pemilihan lokasi budidaya yang memenuhi persyaratan optimum bagi pertumbuhan rumput laut.
• Penerapan teknik budidaya yang disesuaikan dengan lingkungan perairan
• Memperhatikan musim dalam kaitannya dengan teknik budidaya yang hendak diterapkan.

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan ikan dan Lingkungan, 2010



Kamis, 02 Juni 2011

Penyakit Ikan : Vibriosis pada udang

Vibriosis pada udang

Penyebab : Vibrio harveyii, V. alginolyticus, V. parahaemolyticus. dll.

Bio – Ekologi Patogen
• Vibriosis pada larva udang umumnya sebagai penginfeksi sekunder terutama pada saat dalam keadaan stress dan lemah.
• Infeksi bakteri ini biasanya berkaitan dengan kondisi stress akibat: kepadatan tinggi, malnutrisi, penanganan yang kurang baik. infeksi parasit, bahan organik tinggi, oksigen rendah. kualitas air yang buruk. fluktuasi suhu air yang ekstrim. dll.
• Serangan bersifat akut, dan apabila kondisi lingkungan terus merosot, kematian yang ditimbulkannya bisa mencapai 100%. terutama pada stadia post larva atau juvenil.

Gejala klinis :
• Tubuh udang nampak kusam dan kotor.
• Nafsu makan menurun, kerusakan pada kaki dan insang, atau insang berwarna kecoklatan.
• Jenis bakteri Vibrio spp. yang berpendar umumnya menyerang larva udang dan penyakitnya disebut penyakit udang berpendar (luminescent vibriosis).
• Udang yang terserang menunjukkan gejala nekrosis, kondisi tubuh lemah, berenang lambat, nafsu makan hilang, bercak merah (red discoloration) pada pleopod dan abdominal serta pada malam hari terlihat menyala
• Udang yang terkena vibriosis akan menunjukkan bagian kaki renang (pleopoda) dan kaki jalan (pereiopoda) menunjukkan melanisasi.
• Udang yang sekarat sering berenang ke permukaan atau pinggir pematang tambak.

Diagnosa :
• Isolasi dan identifikasi bakteri melalui uji bio-kimia.

Pengendalian :
• Desinfeksi sarana budidaya sebelum dan selama proses pemeliharaan udang
• Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan
vitamin C pada pakan) secara rutin selama pemeliharaan
• Menghindari terjadinya stress (fisik, kimia, biologi)
• Pengelolaan kesehatan udang secara terpadu

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan ikan dan Lingkungan, 2010

Sabtu, 28 Mei 2011

Penyakit ikan Vibriosis pada ikan












Vibriosis pada ikan
Penyebab : Vibrio alginolyticus, V. parahaemolyticus, V. vulnificus, V. ordalii, dll.

Bio - Ekologi Patogen
• Bakteri pada ekosistem air laut, dan vibirosis masih
merupakan masalah utama bagi industri budidaya ikan laut.
• Kasus Vibriosis dapat terjadi sepanjang tahun, namun umumnya terkait dengan stress akibat penanganan, kepadatan tinggi ataupun perubahan cuaca yang ekstrim.
• Tingkat kematian ikan pada stadia larva hingga ukuran
fingerling yang terserang bakteri ini dapat mencapai 80-90%.


Gejala Klinis :
• Lemah, hilang nafsu makan, berenang di permukaan air, dan warna kulit buram.
• Inflamasi pada anus, insang, mulut, pangkal sirip, yang diikuti dengan perdarahan dan lepuh pada permukaan tubuh, serta luka terbuka.
• Pada infeksi lanjut terjadi perdarahan pada mulut dan pangkal sirip, ekses lendir pada insang, dropsy, warna hati pucat. dan mata membengkak.

Diagnosa
• Isolasi dan identifikasi bakteri melalui uji bio-kimia


Pengendallan :
• Desinfeksi sarana budidaya sebelum dan selama proses pemeliharaan ikan
• Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan
vitamin C pada pakan) secara rutin selama pemeliharaan
• Menghindari terjadinya stress (fisik, kimia, biologi)
• Pengelolaan kesehatan ikan secara terpadu (ikan, lingkungan dan patogen)
• Membatasi dan/atau mengatur pemberian pakan dan mencampur pakan dengan obat-obatan (medicated feed and feed restriction)
• Melakukan vaksinasi anti vibriosis.
sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan ikan dan Lingkungan, 2010

Sabtu, 14 Mei 2011

Enteric Septicemia of Catfish (ESC)

Enteric Septicemia of Catfish (ESC)

Penyebab : Edwarsiella ictaluri
Bio-Ekologi Patogen :
• Bakteri berbentuk batang, bersifat gram negatif bergerak dengan bantuan flagella. tidak membentuk spora atau kapsul dan bersifat fakultatif anaerob.
• Awalnya diketahui hanya menginfeksi ikan cannel catfish, namun belakangan diketahui dapat menginfeksi jenis ikan lainnya seperti: lele, patin, dan sidat. Secara eksperimental, beberapa jenis ikan seperti trout, nila, salmon dan ikan hias juga dapat terinfeksi jenis bakteri ini.
• Penularan secara horizontal yaitu kontak antar inang atau melalui air.
• Kasus ESC umumnya terjadi pada saat suhu air relatif hangat (22-28 derajat celcius), namun pada saat suhu air di bawah 20 derajat celcius atau di atas 30 derajat celcius, keganasan bakteri ini sangat menurun.

Gejala Klinis
• Lemah, hilang nafsu makan. warna insang pucat, terkadang mata menonjol dan/atau perut bengkak (dropsy)
• Sering pula ditemukan adanya petechiae (bintik-bintik merah) pada bagian tubuh yang tidak berpigmen (di bawah dagu, perut atau di pangkal sirip)
• Berenang di permukaan air atau di tepi kolam dengan kepala mengarah ke atas
• Sebelum mati, biasanya ikan berenang seperti kejang dan/atau berenang berputar seperti spiral
• Terdapat bercak-bercak putih pada organ dalam (hati, limfa, ginjal, d1l.)

Diagnosa
• Isolasi dan identifikasi bakteri melalui uji bio-kimia.
• Deteksi gen bakteri melalui teknik polymerase chain reaction (PCR)



Pengendalian:
• Menghindari terjadinya stress (fisik, kimia, biologi)
• Memperbaiki kualitas air secara keseluruhan, terutama mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekuensi penggantian air baru
• Pengelolaan kesehatan ikan secara terpadu (ikan, lingkungan dan patogen)
• Membatasi dan/atau mengatur pemberian pakan dan mencampur pakan dengan obat-obatan (medicated feed and feed restriction)
• Melakukan vaksinasi anti Edwardsiella ictaluri.

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan ikan dan Lingkungan, 2010

Senin, 09 Mei 2011

Penyakit Ikan : Edwarsiellosis

Edwarsiellosis

Penyebab : Edwarsiella tarda

Bio-Ekologi Patogen :
• Bakteri berbentuk batang bengkok, bersifat gram negatif bergerak dengan bantuan flagella, tidak membentuk spora atau kapsul, bersifat fakultatif anaerob, dan mampu memproduksi H2S.
• Dijumpai di lingkungan air tawar dan air laut, menginfeksi beberapa jenis ikan antara lain: salmon, catfish, ikan mas, nila. dll.
• Penularan secara horizontal yaitu kontak antara inang satu dengan inang lainnya atau melalui air.
• Umumnya terjadi pada suhu air yang relatif tinggi (± 30 derajat celcius) dan kandungan bahan organik tinggi.
• Tingkat kematian tergantung pada kondisi lingkungan, pada kondisi yang sangat buruk dapat mengakibatkan kematian hingga 50%.

Gejala Klinis :
• Pada infeksi ringan, hanya menampakkan luka-luka kecil.
• Sebagai perkembangan penyakit lebih lanjut, luka bernanah berkembang dalam otot rusuk dan lambung.

• Pucat, perut gembung berisi cairan yang berwarna kekuningan atau kemerahan, pendarahan pada anus dan/atau anus tertekan ke dalam, dan mata pudar.
• Perkembangan lebih lanjut, luka-luka (rongga-rongga) mengalami pembengkakan dan apabila digores akan tercium bau gas H2S.

Diagnosa :
• Isolasi dan identifikasi bakteri melalui uji bio-kimia.
• Deteksi gen bakteri melalui teknik polymerase chain reaction (PCR)


Pengendalian :
• Menghindari terjadinya stress (fisik, kimia, biologi)
• Memperbaiki kualitas air secara keseluruhan, terutama mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekuensi penggantian air baru
• Pengelolaan kesehatan ikan secara terpadu (ikan, lingkungan dan patogen)
• Membatasi dan/atau mengatur pemberian pakan dan mencampur pakan dengan obat-obatan (medicated feed and feed restriction)
• Melakukan vaksinasi anti Edwardsiella tarda.

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan ikan dan Lingkungan, 2010

Kamis, 07 April 2011

penyakit ikan Bacterial Fin/Tail Rot/Pseudomoniasis

Bacterial Fin/Tail Rot/Pseudomoniasis

Penyebab : Pseudomonas spp.

BioEkologi Patogen :
• Merupakan bakteri gram negatif dan non-spora. Bakteri ini bersifat aerobik. dengan ukuran 3 um x 0,5 um, motil, memproduksi pigmen fluorescent. dan berkembang biak di tanah dan air.
• Berbahaya terutama pada ikan air tawar (meskipun juga dapat menyerang ikan laut dan payau) serta dapat berakibat kematian yang tinggi karena penyakit ini menular dalam waktu cepat bila kondisi perairan memungkinkan.
• Penularan serta penyebaran penyakit melalui kontak langsung dengan ikan yang sakit atau dengan lingkungan yang tercemar.
• Serangannya bisa terjadi kalau ikan rentan atau lemah akibat lapar. pakan tidak cocok. dingin, atau kondisi air tidak balk.
Gejala Klinis
• Ikan lemah bergerak lambat. bernafas megap-megap di permukaan air.
• Warna insang pucat dan warna tubuh berubah gelap.
• Terdapat bercak-bercak merah pada bagian luar tubuhnya dan kerusakan pada sirip, insang dan kulit
• mula-mula lendir berlebihan, kemudian timbul perdarahan
•sirip dan ekor rontok (membusuk)
• perdarahan. perut ikan menjadi kembung yang dikenal dengan dropsy.

Diagnosa :
• isolasi dan identifikasi bakteri melalui uji bio-kimia.




Pengendalian :
• Menghindari terjadinya stress (fisik, kimia, biologi)
• Memperbaiki kualitas air secara keseluruhan, terutama mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekuensi penggantian air baru
• Pengelolaan kesehatan ikan secara terpadu (ikan, lingkungan dan patogen)
• Kurangi pemberian pakan dan jumlah ikan dalam kolam
• Perendaman dalam larutan PK 20 ppm selama 30 menit.

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan ikan dan Lingkungan, 2010

Sabtu, 19 Maret 2011

Penyakit Mycobacteriosis/Fish Tuberculosis (TB)

Penyakit Mycobacteriosis/Fish Tuberculosis (TB)

Penyebab : Mycobacterium marinum (air laut) dan M. fortuitum (air tawar)

Bio — Ekologi Pathogen
• Bakteri gram positif, berbentuk batang pendek dan non-motil.
• Kolam tadah hujan dan pekarangan dengan sumber air terbatas lebih rentan terhadap infeksi jenis penyakit ini.
• Menunjukkan gejala yang variatif, namun sering pula tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali.
• Pola serangan mycobacteriosis bersifat kronik - sub akut, baik pada ikan air tawar, payau maupun ikan air laut.
• Suhu optimum berkisar 25-35°C, tetapi masih dapat tumbuh baik pada suhu 18-20 °C.

Gejala Klinis :
• Hilang nasfu makan, lemah, kurus, mata melotot (exopthalmia) serta pembengkakan tubuh.
• Apabila menginfeksi kulit, timbul bercak-bercak merah dan berkembang menjadi luka, sirip dan ekor geripis.
• Pada fase infeksi lanjut, secara internal telah terjadi pembengkakan empedu, ginjal dan hati; serta sering ditemukan adanya tubercle/nodule yang berwarna putih kecoklatan.

• Pertumbuhan lambat, warna pucat dan tidak indah terutama untuk ikan hias.
• Lordosis, skoliosis, ulser dan rusaknya sirip (patah-patah) dapat terjadi pada beberapa ekor ikan yang terserang.

Diagnosa :
• Isolasi dengan menggunakan media selektif, dan
diidentifikasi melalui uji bio-kimia.
• Deteksi gen bakteri melalui teknik polymerase chain reaction (PCR)


Pengendalian :
• ikan yang terinfeksi segera diambil dan dimusnahkan
• Hindari penggunaan air dari kolam yang sedang terinfeksi bakteri tersebut.
• Memperbaiki kualitas air secara keseluruhan, terutama mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau - meningkatkan frekuensi penggantian air baru
• Pengelolaan kesehatan ikan secara terpadu (ikan, lingkungan dan patogen)
• Perendaman Chloramine B atau T 10 ppm selama 24 jam dan setelah itu dilakukan pergantian air baru.

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan ikan dan Lingkungan, 2010

Rabu, 16 Maret 2011

Penyakit ikan : Penyakit Streptococciasis

Penyakit Streptococciasis
Penyebab : Streptococcus agalactiae, S. iniae,

Bio — Ekologi Pathogen :
• Bakteri gram positif, berbentuk bulat kecil (cocci), bergabung
menyerupai rantai, non-motil, koloni transparan dan halus.
• Infeksi Streptococcus iniae sering terjadi pada budidaya ikan air laut (kakap, kerapu), sedangkan S. agalactiae lebih banyak ditemukan pada ikan budidaya air tawar (nila).

• Pola serangan kedua jenis bakteri tersebut umumnya bersifat kronik – akut.
• Target organ infeksi Streptococcus spp. banyak ditemukan di otak dan mata. sehingga disebut "syndrome meningoencephalitis dan panophthalmitis". Penyakit ini sering dilaporkan pada sistem budidaya intensif, lingkungan perairan tenang (stagnant) dan/atau sistem resirkulasi,

• Secara kumulatif, akibat serangan penyakit ini dapat menimbulkan mortalitas 30-100% dari total populasi selama masa pemeliharaan: dan penyakit ini merupakan kendala potensial yang harus diantisipasi berkenaan dengan program intensifikasi dan peningkatan produksi nila nasional.

Gejala Klinis :
• Menunjukkan tingkah laku abnormal seperti kejang atau berputar serta mata menonjol (exopthalmus).
• Nafsu makan menurun, lemah, tubuh berwarna gelap, dan pertumbuhan lambat.
• Warna gelap di bawah rahang, mata menonjol, pendarahan, perut gembung (dropsy) atau luka yang berkembang menjadi borok.
• Adakalanya. tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas kecuali kematian yang terus berlangsung.
• Pergerakan tidak terarah (nervous) dan pendarahan pada tutup insang (operculum).
• Sering pula ditemukan bahwa ikan yang terinfeksi terlihat normal sampai sesaat sebelum mati.

Diagnosa
• Isolasi dan identifikasi bakteri melalui uji bio-kimia.
• Deteksi gen bakteri melalui teknik polymerase chain reaction (PCR)


Pengendalian:
• Desinfeksi sarana budidaya sebelum dan selama proses pemeliharaan ikan
• Pencegahan secara dini (benih) melalui vaksinasi anti-Streptococcus spp.
• Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan
vitamin C pada pakan) secara rutin selama pemeliharaan
• Memperbaiki kualitas air secara keseluruhan, terutama mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekuensi penggantian air baru
• Pengelolaan kesehatan ikan secara terpadu (ikan, lingkungan dan patogen)

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan ikan dan Lingkungan, 2010

Rabu, 02 Maret 2011

penyakit ikan Columnaris Disease


Columnaris Disease

Penyebab : Flavobacterium columnare atau Fexibacterium columnare

Bio-Ekologi patogen:
• Bakteri gram negatif, berbentuk batang kecil, bergerak meluncur, dan terdapat di ekosistem air tawar.
• Sifat bakteri ini adalah berkelompok membentuk kumpulan seperti column.
• Serangan sering terjadi pada kelompok ikan pasca transportasi.
• Sifat serangan umumnya sub acut — acut, apabila insang yang dominan sebagai target organ, ikan akan mati lemas dan kematian yang ditimbulkannya bisa mencapai 100%.

Gejala klinis :
• Luka di sekitar mulut, kepala, badan atau sirip. Luka berwarna putih kecoklatan kemudian berkembang menjadi borok.
• Infeksi di sekitar mulut, terlihat seperti diselaputi benang (thread-like) sehingga sering disebut penyakit "jamur mulut".
• Di sekeliling luka tertutup oleh pigmen berwarna kuning cerah.
• Apabila menginfeksi insang, kerusakan dimulai dari ujung filamen insang dan merambat ke bagian pangkal, akhirnya filamen membusuk dan rontok (gill rot).

Diagnosa :
• Pengamanatan preparat tetes gantung secara mikroskopis (400x) untuk melihat adanya kolom bakteri pada organ target infeksi.
• Isolasi dan identifikasi melalui uji bio-kimia.

Pengendalian :
• Menghindari terjadinya stress (fisik, kimia, biologi)
• Mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekuensi penggantian air baru
• Melalui perendaman dengan beberapa bahan kimia seperti
✓ Garam dapur 0,5% atau kalium permanganat 5 ppm selama 1 hari
✓ Acriflavine 5-10 ppm melalui perendaman selama beberapa hari.
✓ Chloramin B atau T 18-20 ppm melalui perendaman selama 2-3 hari.
✓ Benzalkonium chloride pada dosis 18-20 ppm selama 2-3 hari
✓ Oxolinic acid pada dosis 1 ppm selama 24 jam

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan ikan dan Lingkungan, 2010

Rabu, 02 Februari 2011

Isopodiasis - penyakit ikan

Isopodiasis

Penyebab : Nerocilla orbiguyi, Alitropus typus, dll.
Bio-Ekologi Patogen :
• Isopod yang merupakan parasit pemakan darah "blood feeder' yang berukuran relatif besar (10-50 mm), dan tubuhnya terdiri dari beberapa segmen yang dilengkapi dengan sepasang mata.
• Menginfeksi pada semua stadia ikan dan hampir semua jenis ikan rentan terhadap infeksi parasit ini terutama pada ikan-ikan bersisik.
• Menempel pada permukaan tubuh ikan, di dalam mulut, lubang hidung atau tutup insang.
• Penularan terjadi secara horizontal, dan pemicunya antara
lain karena kondisi perairan dan kepadatan yang tinggi.

Gejala Klinis :
• Luka serta pendarahan pada tempat gigitan, dan secara visual parasit ini tampak menempel pada tubuh ikan terutama di bawah sisik atau pada pangkal sirip.
• Hilang keseimbangan, lemah, dan nafsu makan turun.
• Nekrosa pada jaringan insang atau kulit ikan.
• Ikan lambat tumbuh, bahkan sering mengakibatkan kematian karena mengalami anemia atau karena infeksi sekunder oleh bakteri.
Diagnosa :
• Secara visual terlihat adanya parasit yang menempel pada tubuh ikan.

Pengendalian:
• Merontokkan parasit dalam wadah terbatas dengan bahan kimia yang mengandung bahan aktif dichlorfos pada konsentrasi 5 — 7 ppm selama 60 menit.
• Setelah parasit rontok, ikan dipindahkan ke wadah lain untuk mencegah adanya infeksi sekunder oleh bakteri pada bekas gigitan parasit.
• Menggunakan spot light pada malam hari untuk mengumpulkan parasit tersebut pada satu lokasi, kemudian diangkat dengan jaring.


sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, 2010

Jumat, 28 Januari 2011

Argulosis - penyakit ikan

Argulosis


Penyebab : Argulus sp.
Bio-Ekologi Patogen :
• Parasit ini dikenal sebagai "kutu ikan" dan penghisap darah, berbentuk datar. dan lebih nampak seperti piring.
• Melukai tubuh ikan dengan bantuan enzim cytolytic, selain pada kulit, kutu ini juga sering dijumpai di bawah tutup insang ikan.
• Hampir semua jenis ikan air tawar rentan terhadap infeksi parasit ini.
• Pada intensitas serangan yang tinggi. ikan dewasapun dapat mengalami kematian karena kekurangan darah.


Gejala Klinis :
• Secara visual parasit ini tampak seperti kutu yang menempel pada tubuh ikan. disertai dengan pendarahan di sekitar tempat gigitannya.
• Iritasi kulit, hilang keseimbangan, berenang zig-zag, melompat ke permukaan air dan menggosok-gosokkan badannya pada benda keras yang ada di sekitarnya.


Diagnosa :
• Secara visual terlihat adanya parasit yang menempel pada tubuh ikan


Pengendalian:
• Pengeringan dasar kolam yang diikuti dengan pengapuran.
• Perendaman dapat dilakukan dengan:
✓ Larutan Dylox pada dosis 0,25 ppm selama 24 jam atau lebih di kolam.
✓ Larutan Amonium Klorida (NH4CI) pada dosis 1,0 -1,5% selama 15 menit, atau garam dapur pada dosis 1,25% selama 15 menit.
✓ Larutan Dichlorvos 0,2 mg/L selama 24 jam atau lebih, setiap minggu selama 4 minggu berturut-turut
✓ Garam dapur 500 – 1000 ppm selama 24 jam atau lebih, diulang setiap minggu selama 4 kali pemberian
✓ Potassium permanganate (PK) 2-5 mg/L selama 24 jam atau lebih.


sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, 2010

Senin, 24 Januari 2011

Lerniasis (penyakit Ikan)

Lerniasis

Penyebab : Lemaeae cyprinaceae dan L. arcuata
Bio — Ekologi :
• Parasit ini dikenal sebagai cacing jangkar (anchor worm).
• Menempel ke tubuh ikan dengan "jangkar" yang menusuk dan berkembang di bawah kulit.
• Badan parasit dilengkapi dengan dua buah kantung telur akan terlihat menggantung di luar tubuh ikan.
• Hampir semua jenis ikan air tawar rentan terhadap infeksi parasit ini, terutama yang berukuran benih.
• Pada tingkat infeksi yang tinggi dapat mengakibatkan kasus kematian yang serius.

Gejala Klinis :
• Terlihat menyerupai panah yang menusuk tubuh ikan. Terkadang pada tubuh parasit ditumbuhi lumut sehingga ikan yang terinfeksi terlihat seperti membawa bendera hijau
• Terjadi luka atau pendarahan pada lokasi tempat penempelannya. Pada benih ikan dalamnya tusukan bisa mencapai organ dalam sehingga dapat mengakibatkan kematian
Diagnosa :
• Secara visual terlihat adanya parasit yang menempel pada tubuh ikan
Pengendalian :
• Pengendapan dan penyaringan air masuk.
• Pemusnahan ikan yang terinfeksi dan pengeringan dasar kolam yang diikuti dengan pengapuran.
• Perendaman dengan :
✓ Larutan formalin pada 250 ppm selama 15 menit.
✓ Larutan Abate pada dosis 1 ppm (akuarium) dan 1,5 ppm (kolam)
✓ Larutan Dichlorvos 0,2 mg/L selama 24 jam atau lebih, setiap minggu selama 4 minggu berturut-turut

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, 2010

Selasa, 18 Januari 2011

Benediasis ( penyakit ikan )

Benediasis

Penyebab: Benedinia sp. dan Neo Benedinia sp.

Bio —Ekologi Patogen:
• Pemakan darah "blood feeder", menginfeksi ikan air laut, terutama kakap, dan kerapu.
• Parasit tergolong pada Capsalid monogenea, yaitu sejenis cacing trematoda.
• Kasus serius umumnya terjadi pada budidaya ikan di karamba jaring apung (KJA).
• Apabila pada mata dapat menyebabkan kebutaan, dan luka yang diakibatkannya merupakan pintu masuk bagi bakteri penginfeksi sekunder.
• Kematian akibat infeksi berat bisa mencapai 30%.


Gejala klinis :
• Luka serta pendarahan pada tempat gigitan, dan secara visual parasit ini tampak menempel pada tubuh ikan terutama pada sisik atau pada sirip (nampak setelah ikan yang terinfeksi direndam dalam air tawar untuk beberapa menit)
• Pada infeksi berat parasit tersebut bisa menginfeksi mata, sehingga mata ikan akan kelihatan memutih.


Diagnosa :
• Secara visual terlihat adanya parasit yang menempel pada tubuh ikan, kalau ikan ditempatkan dalam air tawar

Pengendalian :
• Merontokkan parasit dalam wadah terbatas dengan menggunakan air tawar selama 2-5 menit.
• Perendaman dalam larutan hydrogen peroxide (H2O2) pada dosis 150 ppm selama 10-30 menit.
• Setelah parasit rontok, ikan dipindahkan ke wadah lain untuk mencegah adanya infeksi sekunder oleh bakteri pada bekas gigitan parasit.

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, 2010

Jumat, 07 Januari 2011

Cacing Insang Pada Ikan Laut

Cacing Insang Pada Ikan Laut
Penyebab : Haliotrema spp., Psedorhabdosynochus spp.
Bio-Ekologi Patogen :
• Ekto-parasit bersifat obligat parasitik
• Menginfeksi insang ikan budidaya laut. Dua atau kemungkinan tiga spesies monogenea tergolong ke dalam Genus Pseudorhabdosynochus yaitu Pseudorhabdosynochus latesi. P. monosquamodiscusi, dan Diplectanum penangi, sementara P. epinepheli ditemukan pada kelompok ikan kerapu.


Gejala Klinis :
• Warna tubuh pucat, nafsu makan menurun, kurus, dan lamban
• Frekwensi pernapasan meningkat dan produksi mukus pada insang berlebih
• Berkumpul/mendekat ke air masuk
• Insang pucat atau membengkak sehingga operkulum terbuka

Diagnosa :
• Pengamatan secara visual terhadap tingkah laku dan gejala klinis yang timbul
• Pengamatan secara mikroskopis untuk melihat morfologi
parasit melalui pembuatan preparat ulas dari organ insang.


Pengendalian :
• Mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekwensi pergantian air
• Ikan yang terserang cacing insang dengan tingkat prevalensi dan intensitas yang rendah, pengobatan dapat dilakukan dengan perendaman dalam larutan formalin pada dosis 25-50 ppm selama 24 jam atau lebih.
sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, 2010

Rabu, 29 Desember 2010

Gyrodactyliasis (cacing Kulit) Penyebab : Gyrodactylus spp.

Gyrodactyliasis (cacing Kulit) Penyebab : Gyrodactylus spp.

Bio-Ekologi Patogen :
• Ekto-parasit, bersifat obligat parasitik dan berkembang biak dengan beranak.

• Gyrodactylus sp. tidak memiliki titik mata, dan pada ujung kepalanya terdapat 2 buah tonjolan
• Penularan terjadi secara horizontal, pada saat anak cacing lahir dari induknya
• Menginfeksi semua jenis ikan air tawar, terutama ukuran benih dan organ target meliputi seluruh permukaan tubuh ikan, terutama kulit dan sirip.
Infeksi berat dapat mematikan 30-100% dalam tempo beberapa minggu; terutama sebagai akibat infeksi sekunder oleh bakteri dan cendawan

Gejala Klinis :
• Nafsu makan menurun, lemah, tubuh berwarna gelap, pertumbuhan lambat, dan produksi lendir berlebih
• Peradangan pada kulit disertai warna kemerahan pada lokasi penempelan cacing
• Menggosok-gosokkan badannya pada benda di sekitarnya
Diagnosa :
• Pengamatan secara visual terhadap tingkah laku dan gejala klinis yang timbul
• Pengamatan secara mikroskopis untuk melihat morfologi
parasit melalui pembuatan preparat ulas dari organ insang.

Pengendalian :
• Mempertahankan kualitas air terutama stabilisasi suhu air > 29° C
• Mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekwensi pergantian air
• Ikan yang terserang gyrodactyliasis dengan tingkat prevalensi dan intensitas yang rendah, pengobatan dapat dilakukan dengan perendaman beberapa jenis desinfektan, antara lain:
✓ Larutan garam dapur pada konsentrasi 500-10.000
ppm (tergantung jenis dan umur ikan) selama 24 jam
✓ Larutan Kalium Permanganate (PK) pada dosis 4 ppm selama 12 jam
✓ Larutan formalin pada dosis 25-50 ppm selama 24 jam atau lebih.

sumber : sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dirjen. Perikanan Budidaya, 2010

Rabu, 15 Desember 2010

Penyakit Ikan : Dactylogyriasis (Cacing Insang)

Dactylogyriasis (Cacing Insang)

Penyebab : Dactylogyrus spp., Cychlidogyrus spp., Quadricanthus spp.

Bio-Ekologi Patogen

• Ekto-parasit yang bersifat obligat parasitik dan berkembang biak dengan bertelur
• Menginfeksi semua jenis ikan air tawar, terutama ukuran benih. Penularan terjadi pada saat face infektif (Onchomiracidium).
Dactylogyrus spp. memiliki 2 pasang titik mata, dan pada ujung kepalanya terdapat 4 buah tonjolan. Cychlidogyrus spp. bentuknya lebih pipih pada kedua ujungnya, dan hanya memiliki sepasang titik mata. Quadricanthus spp. bentuknya
mirip Dactylogyrus spp., dan memiliki host species specific target yaitu kelompok ikan catfish.
• Infeksi berat dapat mematikan 30-100% dalam tempo beberapa minggu

Gejala Klinis :
• Warna tubuh pucat, nafsu makan menurun, kurus, gelisah dan lamban
• Frekwensi pernapasan meningkat, produksi mukus pada insang berlebih dan sering meloncat-loncat
• Berkumpul/mendekat ke air masuk
• Insang pucat atau membengkak sehingga operkulum terbuka

Diagnosa :
• Pengamatan secara visual terhadap tingkah laku dan gejala klinis yang timbul
• Pengamatan secara mikroskopis untuk melihat morfologi
parasit melalui pembuatan preparat ulas dari organ insang.

Pengendalian :
• Mempertahankan kualitas air terutama stabilisasi suhu air > 29 derajat celcius
• Mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekwensi pergantian air
• Ikan yang terserang Dactylogyriasis dengan tingkat prevalensi dan intensitas yang rendah, pengobatan dapat dilakukan dengan perendaman beberapa jenis desinfektan, antara lain:
✓ Larutan garam dapur pada konsentrasi 500-10.000
ppm (tergantung jenis dan umur ikan) selama 24 jam
✓ Larutan Kalium Permanganate (PK) pada dosis 4 ppm selama 12 jam
✓ Larutan formalin pada dosis 25-50 ppm selama 24 jam atau lebih
✓ Glacial acetic acid 0,5 ml/L selama 30 detik setiap 2 hari selama 3 – 4 kali

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dirjen Perikanan Budidaya, Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, 2010

Minggu, 21 November 2010

Myxosporidiasis (Penyakit Gembil)

Myxosporidiasis (Penyakit Gembil)

Penyebab : Myxosporea dari genera Myxobolus, Myxosoma, Thelohanellus, dan Henneguya


Bio — Ekologi Patogen :
• Myxosporea berbentuk seperti buah pir atau biji semangka
(kwaci), terbungkus dalam kista yang berisi ribuan spora.
• Memiliki vakuola yang disebut vakuola iodinophilous yang menjadi pembeda dua genera Myxosporea, yaitu Myxosoma (tanpa vakuola iodinophilous) dan Myxobolus (dengan vakuola iodinophilous).
• Spora yang dimakan oleh inang dan masuk ke dalam usus akan pecah mengeluarkan sporoplasma, dan bergerak secara amoeboid masuk dalam sirkulasi darah dan terbawa ke organ target infeksi,

• Inang umumnya jenis-jenis ikan dari kelompok cyprinidae, labirinth dan salmonidae. Di Indonesia, jenis ikan yang sering terinfeksi myxosporea antara lain benih ikan mas, tawes, sepat. gurame dan tambakan.
• Prevalensi serangan bervariasi dari rendah sampai sedang dengan mortalitas berpola kronis

Gejala Klinis :
• Menginfeksi jaringan ikat tapis insang, tulang kartilag, otot/daging, dan beberapa organ dalam ikan (terutama benih).
• Terlihat benjolan putih seperti tumor berbentuk bulat-lonjong menyerupai butiran padi pada insang ikan
• Pada infeksi berat. tutup insang (operkulum) tidak dapat
menutup sempurna. sirip ekor bengkok dan berwarna gelap
• Bengkak-bengkak/gembil di bagian tubuh (kanan/kiri), struktur tulang yang tidak normal
• Berenang tidak normal. berdiam di dasar dan akhirnya mati.

Diagnosa :
• Pengamatan secara visual terhadap tingkah laku dan gejala klinis yang cukup jelas
• Pengamatan secara mikroskopis untuk melihat morfologi myxosporidia melalui pembuatan preparat ulas dari organ target infeksi. Pengamatan yang lebih jelas terhadap karakteristik spora diperlukan pewarnaan yang spesifik.


Pengendalian :
• Persiapan kolam (pengeringan dan desinfeksi kolam) untuk memutus siklus hidup parasit.
• Ikan yang terinfeksi segera diambil dan dimusnahkan
• Hindari penggunaan air dari kolam yang sedang terinfeksi parasit
• Pengendapan yang dilengkapi dengan filtrasi fisik (batu, ijuk, kerikil dan pasir)
• Belum ada bahan kimia yang efektif untuk mengobati penyakit ini.

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dirjen. Perikanan Budidaya,2010

Rabu, 17 November 2010

Microsporidiasis (Cotton Shrimp Disease)

Microsporidiasis (Cotton Shrimp Disease)

Penyebab : Microsporidia dari genera Thelohania, Nosema dan Peistophora

Bio — Ekologi Patogen
• Disebut sebagai penyakit udang kapas dan/atau udang susu.
• Memiliki lebih dari 8 spora dalam tiap kapsul
• Hampir semua jenis udang penaeid dilaporkan paling sedikit rentan terhadap infeksi salah satu jenis dari parasit golongan microsporidia, meskipun ada indikasi lokal spesifik

• Patogenisitas rendah, tingkat prevalensi dalam satu populasi umumnya tidak lebih dari 5% dan mortalitas yang diakibatkannya juga relatif rendah


Gejala klinis :
• Bagian tubuh udang yang terinfeksi berwarna putih susu dan lebih lunak
• Spora yang berwarna putih menyebar di bagian daging/otot (internal parasite)
• Udang lemah, mudah stress, nafsu makan menurun, lamban sehingga mudah dimangsa predator, serta mudah mati setelah penanganan (handling)

Diagnosa :
• Pengamatan secara visual terhadap tingkah laku dan gejala klinis yang cukup jelas
• Pengamatan secara mikroskopis untuk melihat morfologi microsporidia melalui pembuatan preparat ulas dari organ target infeksi. Pengamatan yang lebih jelas terhadap karakteristik spora diperlukan pewarnaan yang spesifik.

Pengendalian :
• Desinfeksi, pengeringan dasar tambak dan sumber air yang bebas dari microsporidia
• Udang yang terinfeksi segera dimusnahkan, untuk mengurangi potensi penularan secara horizontal
• Untuk memotong siklus hidup parasit, hindari pemberian pakan berupa ikan rucah yang terinfeksi microsporidia
• Tidak ada bahan kimia yang efektif untuk mencegah dan/atau mengobati penyakit microsporidiasis.

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dirjen. Perikanan Budidaya, 2010