Ragam Jenis Komoditas Budidaya laut
Budidaya laut merupakan salah satu subsektor perikanan budidaya yang pengembangan berada dalam area terbatas. Biasanya letaknya di daerah yang memiliki ketenangan arus. Budidaya laut seperti halnya pada budidaya air tawar dan air payau juga harus didukung dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung pembudidayaan ikan di laut. Pembudidayaan ikan di laut selain memiliki ketenangan arus tertentu, juga memperhatikan tingkat salinitas, kejernihan air , pencahayaan dan kedalaman air lautnya.
Budidaya laut merupakan salah satu subsektor yang sampai dengan saat ini merupakan unggulan perikanan budidaya dalam meningkatkan volume produksinya. Volume produksi baik menurut komoditasnya ataupun menurut daerah penghasilnya secara nasional didominasi oleh produksi komoditas budidaya laut seperti rumput laut yang produksi mencapai hampir 2/3 dari total produksi nasional.
Walaupun masih kalah dibandingkan subsektor budidaya air tawar namun produksi budidaya laut tidaklah dapat dipandang sebelah mata. Apalagi jika melihat data produksinya yang hampir didominasi oleh rumput laut dari budidaya laut. Umumnya komoditas budidaya laut memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi di pasaran baik dalam negeri maupun luar negeri. Pasar untuk komoditas budidaya laut pun masih sangat terbuka dan sebagian besar komoditas budidaya laut di ekspor keluar negeri dengan nilai jual yang cukup tingggi. Ada beberapa komoditas yang sudah dapat dibudidayakan dan dikembangakan oleh daerah-daerah yang ada di Indonesia, antara lain yaitu :
1. RUMPUT LAUT
Rumput laut adalah komoditas unggulan di perikanan budidaya subsektor budidaya laut. Rumput laut selain dapat di budidaya di laut juga dapat dibudidayakan di air payau, namun jenisnya berbeda. Rumput laut yang sering dibudidayakan dan dikembangkan diperairan laut selama ini memiliki nama ilmiah euchema cottonii. Sedangkan untuk jenis yang dibudidayakan di air payau adalah Gracilari sp. Rumput E. cottonii ini dikembangkan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir perkembangan rumput laut begitu cepatnya. Bahkan data tahun 2009 rumput laut E. cottonii hampir menembus tiga juta ton. Sentra budidaya rumput laut cottonii terdapat di pulau sulawesi terutama di provinsi sulawesi selatan, sulawesi tengah dan sulawesi tenggara. Diluar pulau sulawesi sentra budidaya rumput laut jenis ini terdapat di provinsi nusa tenggara timur dan provinsi jawa timur. Geliat pengembangan budidaya rumput laut jenis ini sudah berkembang di luar pulau sulawesi. Bahkan beberapa provinsi menunjukan peningkatan volume produksi yang cukup tinggi.
2. BANDENG
Bandeng adalah komoditas budidaya laut yang dapat juga dibudidayakan di tambak. Ikan ini memiliki nilai ekonomis cukup tinggi dan memiliki rasa yang enak. Pada beberapa daerah ikan ini menjadi makanan khas daerah tersebut. Tidak banyak daerah yang membudidayakan bandeng di laut. Berdasarkan laporan dari daerah-daerah yang sampai ke pusat melalui buku statistik provinsi hanya provinsi Bali dan Provinsi DKI Jakarta saja yang mengembangkan budidaya ikan bandeng di laut. Memang jika melihat sejarahnya ikan bandeng lebih dikenal sebagai ikonnya ikan budidaya tambak. Padahal ikan bandeng yang dibudidaya di karamba jaring apung di laut memiliki keunggulan yaitu tidak bau lumpur. Sementara bandeng yang ada di tambak biasanya berbau lumpur .
3. KERAPU
Sama halnya dengan ikan bandeng, ikan kerapu juga dapat dibudidayakan di tambak. Bedanya ikan kerapu lebih dikenal dan banyak di budidaya di laut daripada di tambak. Kerapu memiliki tujuh genus yang dikenal di Indonesia, yaitu Aethaloperca, Anyperodon, Cephalopholis, Chromileptes, Epinephelus, Plectropomus, dan Variola. Dari ketujuh genus tersebut yang memiliki nilai komersial adalah genus Chromileptes yang diwakili oleh jenis kerapu bebek, Plectropomus diwakili oleh jenis kerapu sunu, dan Epinephelus yang diwakili oleh jenis kerapu macan. Ikan kerapu dibudidayakan hampir di seluruh daerah di Inonesia. Sentra budidaya ikan kerapu du laut terletak di provinsi Maluku, Sumatera Utara, Kepulauan Riau dan Lampung.
4. KAKAP
Ikan kakap juga dapat dibudidayakan di laut dan di tambak. Kakap yang dibudidayakan ada dua jenis yaitu kakap putih dan kakap merah. Ikan kakap termasuk ikan yang memiliki toleransi cukup besar terhadap kadar garam. Ikan kakap juga merupakan ikan yang memiliki nilai ekonomis baika untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk pasar internasional. Budidaya ikan kakap di laut terdapat di provinsi DKI Jakarta , Kepulauan Riau dan beberapa daerah di Indonesia timur. Pada tahun 2009 produksi tertinggi kakap dihasilkan oleh provinsi kepulauan riau.
5. BERONANG
Ikan beronang memiliki nama ilmiah Siganus sp. Ikan ini sebenarnya cukup potensial untuk dikembangkan. Ikan ini termasuk ikan yang memiliki daging yang gurih dan disukai banyak orang. Sifatnya primary herbivor, suka memakan plankton dan makanan buatan. Ikan ini termasuk komoditas yang mudah dibudidayakan karena mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kadar garam dan tingkat suhu. Ikan ini di alam tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Sementara lokasi budidayanya terletak di provinsi kepulauan riau, papua dan maluku berdasarkan laporan data statistik dari setiap provinsi yang ada di Indonesia.
6. TERIPANG
Teripang termasuk komoditas perairan laut yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Nama latinnya Holothuroidea. Teripang biasa disebut juga sebagai timun laut. Komoditas ini biasa ditemukan di daerah pasang surut air laut sampai dengan daerah laut dalam. Teripang yang dalam bahasa inggrisnya disebut sea cucumber, memiliki manfaat antara lain dapat dijadikan penyembuh luka, pencegah osteoporosis, anti kanker dan anti tumor serta dapat mengendalikan kadar gula darah. Sentra budidaya komoditas teripang sendiri terdapat di provinsi Maluku dan Papua.
7. KUWE
Ikan kuwe memiliki nama ilmiah Caranx sexfasciatus ini memiliki kebiasaan yang unik. Ia dikenal sebagai ikan yang senang bercengkerama dengan teman sebayanya. Ikan ini termasuk dalam golongan ikan predator yang hidup di daerah karang dangkal di perairan terbuka. Ikan yang tergolong sebagai ikan buas ini hidup dengan membentuk gerombolan. Ikan ini sudah dapat dibudidayakan. Daerah yang mengembangkan ikan kuwe sebagai ikan budidaya adalah provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua, Nusa Tenggara Timur dan sebagian provinsi yang ada di pulau Sulawesi.
8. KERANG
Kerang termasuk komoditas laut yang sudah dapat dibudidayakan. Kerang masuk dalam kategori hewan bertubuh lunak atau mollusca walaupun ia memiliki cangkang yang kerang. Ada berbagai macam jenis kerang yang ada di perairan Indonesia. Namun kerang yang sering dibudidayakan antara lain adalah jenis kerang darah, kerang hijau dan abalone. Kerang merupakan komoditas dengan pangsa pasar yang masih sangat terbuka. Komoditas ini dikenal sebagai makanan dengan nilai eksklusif tinggi. Beberapa daerah yang mengembangkan budidaya kerang antara lain provinsi Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
9. UDANG BARONG
Udang barong dikenal dengan nama lobster laut, mencari makanan pada malam hari dan suka tinggal di dalam lubang-lubang. Udang yang memiliki nama ilmiah Panulirus sp ini merupakan komoditas yang sangat potensial. Sama halnya dengan udang yang lain, komoditas ini memiliki nilai jual yang cukup lumayan. Komoditas yang memiliki nama inggris Spiny lobster ini, pembudidayaannya terdapat di provinsi Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Timur.
Sampai dengan saat ini, komoditas budidaya laut yang pengembangan cukup baik adalah seperti tersebut di atas. Budidaya laut selain budidaya air payau dan budidaya air tawar sangat diandalkan oleh perikanan budidaya untuk terus berkembang dalam peningkatan produksi baik dari sisi volume maupun dari sisi keberagaman jenis yang dibudidayakan.
sumber : http://www.perikanan-budidaya.dkp.go.id
Senin, 13 Desember 2010
Si Bongkok Menggeliat
Si Bongkok Menggeliat
Harga udang naik lantaran permintaan pasar meningkat menjelang akhir tahun
Veri Nurhansyah
JAKARTA. Menjelang berakhirnya tahun 2010, para pebu-didaya udang diterpa angin segar. Sebab, harga udang dunia semakin naik seiring meningkatnya permintaan udang di pengujung tahun.
Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) Iwan Setiawan menyebutkan , selama November hingga Desember 2010, harga udang ekspor naik hingga menyentuh Rp 60.000 per kilogram (kg). Harga ini melesat dari bulan-bulan sebelumnya yang hanya berada di kisaran Rp 35.000 - Rp 40.000 per kg.
Tentu saja, meningkatnya harga udang ini menguntungkan dan membuat produsen udang lebih lega. "Dengan hargajual udang sekarang ini, pebudidaya lebih bisa berekspansi dengan menambah lahan tambak agar produksinya meningkat," ungkap Iwan.
Iwan berpendapat, salah satu penyebab naiknya harga udang dunia belakangan ini adalah ketidakseimbangan antara volume produksi dan permintaan. Sepanjang 2010, terdapat gangguan produksi di beberapa negara produsen.
Sejumlah negara melaporkan penurunan produksi di saat permintaan udang dunia sedang membaik. Kenaikan tertinggi berasal dari pasar Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang saat ini mulai memasuki musim dingin.
Menurut Victor Nikijuluw, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), selain kenaikan permintaan menjelang musim dingin, kenaikan harga udang lebih banyak dikatrol oleh kenaikan permintaan untuk konsumsimenyambut Natal dan tahun baru.
Maklum, dalam menyambut Natal dan tahun baru, ada kebiasaan tahunan, konsumen membeli udang lebih banyak untuk disantap bersama dengan keluarga dan tamu.
"Timpangnya produksi dan permintaan ini membuat harga udang naik belakangan ini," kata Victor.
Kenaikan pemintaan udang tertinggi, menurut Victor, berasal dari AS dan Eropa. Saat ini, pasar udang di AS sedang kesulitan pasokan lantaran Amerika Selatan yang selama ini memasok udang sedang terganggu produksinya akibat tumpahnya minyak di Teluk Meksiko sejak April silam.
Dampak tumpahan minyak itu masih dirasakan sampai akhir tahun ini. Buktinya, kapasitas produksi udang di Chile, Ekuador, dan Meksiko melorot tajam. Padahal, selama ini, kawasan ini memasok 20% kebutuhan udang di AS. Selain soal pencemaran laut, tambak-tambak udang di Amerika Selatan sedang menghadapi serangan virus.
Kondisi kurang lebih santa juga dialami para pebudidaya udang di Indonesia Tahun ini, produksi udang tidak jauh berbeda dari produksi tahun lalu. Penyebabnya adalah pro-ses pemulihan produksi setelah terserang penyakit masih lambat. Hal ini tercermin dari kinerja ekspor udang Indonesia. Sekadar informasi, volume ekspor udang Januari-Agustus 2010 hanya mencapai 94.867 ton atau senilai US$ 840 juta.
Kinerja ekspor ini turun sekitar 5,76% dibanding periode sama tahun lalu yang mencapai 100.668 ton dengan nilai sekitar US$ 888 juta. Salah satu penyebabnya adalah sebagian tambak besar belum pulih beroperasi setelah serangan virus tahun lalu.
Virus sudah teratasi
Meski begitu, sampai akhir tahun ini, ekspor udang masih mungkin membaik. Harapannya bertumpu pada produksi anggota SCI yang kebanyakan merupakan petambak menengah dan kecil, serta tambak rakyat. Geliat produksi petambak kelompok ini sudah terlihat belakangan ini.
Iwan bahkan berani mema-tok target produksi anggota SCI bisa mencapai 130.000 ton atau naik dibandingkan tahun lalu sekitar 100.000 ton. Kenaikan produksi itu terjadi lantaran sebagian petambak berhasil mengatasi serangan virus white spot syndrome yang meraja lela sejak tahun lalu. "Dengan panen yang lebih bertahap dan pengelolaanyang lebih sabar, virus itu berhasil kami jinakkan," kata Iwan.
Meski begitu, Iwan belum berani mematok target kenaikan produksi pada tahun depan. Sebab, produksi udang sangat bergantung dari harga jual. Jika harga baik, petam-bak udang akan bersemangat menaikkan produksi. Begitu pula sebaliknya
Meski petambak optimistis, KKP masih memperkirakan, produksi udang tahun ini belum mencapai target sebesar 350.000 ton. Sumber masalahnya adalah perusahaan tambak terbesar di Asia yang berada di Lampung belum beroperasi secara normal. Tapi, KKP optimistis, produksi bisa mencapai 300.000 ton.
Victor bilang, sampai tahun 2014, pemerintah mematok target produksi udang sebanyak 700.000 ton. "Salah satu upayanya adalah membangun pusat induk atau Broodstock Center di Karangasem, Bali, baru-baru ini," jelasnya
Selain menggenjot produksi, KKP juga berusaha meningkatkan nilai tambah produk udang. Selama ini, ekspor udang dari Indonesia hanya dalam bentuk/rozen shrimp. KKP berencana mendorong produsen mengekspor dalam bentuk olahan, seperti udang kaleng.
Sumber : Harian Kontan 13 Desember 2010,hal.15
Harga udang naik lantaran permintaan pasar meningkat menjelang akhir tahun
Veri Nurhansyah
JAKARTA. Menjelang berakhirnya tahun 2010, para pebu-didaya udang diterpa angin segar. Sebab, harga udang dunia semakin naik seiring meningkatnya permintaan udang di pengujung tahun.
Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) Iwan Setiawan menyebutkan , selama November hingga Desember 2010, harga udang ekspor naik hingga menyentuh Rp 60.000 per kilogram (kg). Harga ini melesat dari bulan-bulan sebelumnya yang hanya berada di kisaran Rp 35.000 - Rp 40.000 per kg.
Tentu saja, meningkatnya harga udang ini menguntungkan dan membuat produsen udang lebih lega. "Dengan hargajual udang sekarang ini, pebudidaya lebih bisa berekspansi dengan menambah lahan tambak agar produksinya meningkat," ungkap Iwan.
Iwan berpendapat, salah satu penyebab naiknya harga udang dunia belakangan ini adalah ketidakseimbangan antara volume produksi dan permintaan. Sepanjang 2010, terdapat gangguan produksi di beberapa negara produsen.
Sejumlah negara melaporkan penurunan produksi di saat permintaan udang dunia sedang membaik. Kenaikan tertinggi berasal dari pasar Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang saat ini mulai memasuki musim dingin.
Menurut Victor Nikijuluw, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), selain kenaikan permintaan menjelang musim dingin, kenaikan harga udang lebih banyak dikatrol oleh kenaikan permintaan untuk konsumsimenyambut Natal dan tahun baru.
Maklum, dalam menyambut Natal dan tahun baru, ada kebiasaan tahunan, konsumen membeli udang lebih banyak untuk disantap bersama dengan keluarga dan tamu.
"Timpangnya produksi dan permintaan ini membuat harga udang naik belakangan ini," kata Victor.
Kenaikan pemintaan udang tertinggi, menurut Victor, berasal dari AS dan Eropa. Saat ini, pasar udang di AS sedang kesulitan pasokan lantaran Amerika Selatan yang selama ini memasok udang sedang terganggu produksinya akibat tumpahnya minyak di Teluk Meksiko sejak April silam.
Dampak tumpahan minyak itu masih dirasakan sampai akhir tahun ini. Buktinya, kapasitas produksi udang di Chile, Ekuador, dan Meksiko melorot tajam. Padahal, selama ini, kawasan ini memasok 20% kebutuhan udang di AS. Selain soal pencemaran laut, tambak-tambak udang di Amerika Selatan sedang menghadapi serangan virus.
Kondisi kurang lebih santa juga dialami para pebudidaya udang di Indonesia Tahun ini, produksi udang tidak jauh berbeda dari produksi tahun lalu. Penyebabnya adalah pro-ses pemulihan produksi setelah terserang penyakit masih lambat. Hal ini tercermin dari kinerja ekspor udang Indonesia. Sekadar informasi, volume ekspor udang Januari-Agustus 2010 hanya mencapai 94.867 ton atau senilai US$ 840 juta.
Kinerja ekspor ini turun sekitar 5,76% dibanding periode sama tahun lalu yang mencapai 100.668 ton dengan nilai sekitar US$ 888 juta. Salah satu penyebabnya adalah sebagian tambak besar belum pulih beroperasi setelah serangan virus tahun lalu.
Virus sudah teratasi
Meski begitu, sampai akhir tahun ini, ekspor udang masih mungkin membaik. Harapannya bertumpu pada produksi anggota SCI yang kebanyakan merupakan petambak menengah dan kecil, serta tambak rakyat. Geliat produksi petambak kelompok ini sudah terlihat belakangan ini.
Iwan bahkan berani mema-tok target produksi anggota SCI bisa mencapai 130.000 ton atau naik dibandingkan tahun lalu sekitar 100.000 ton. Kenaikan produksi itu terjadi lantaran sebagian petambak berhasil mengatasi serangan virus white spot syndrome yang meraja lela sejak tahun lalu. "Dengan panen yang lebih bertahap dan pengelolaanyang lebih sabar, virus itu berhasil kami jinakkan," kata Iwan.
Meski begitu, Iwan belum berani mematok target kenaikan produksi pada tahun depan. Sebab, produksi udang sangat bergantung dari harga jual. Jika harga baik, petam-bak udang akan bersemangat menaikkan produksi. Begitu pula sebaliknya
Meski petambak optimistis, KKP masih memperkirakan, produksi udang tahun ini belum mencapai target sebesar 350.000 ton. Sumber masalahnya adalah perusahaan tambak terbesar di Asia yang berada di Lampung belum beroperasi secara normal. Tapi, KKP optimistis, produksi bisa mencapai 300.000 ton.
Victor bilang, sampai tahun 2014, pemerintah mematok target produksi udang sebanyak 700.000 ton. "Salah satu upayanya adalah membangun pusat induk atau Broodstock Center di Karangasem, Bali, baru-baru ini," jelasnya
Selain menggenjot produksi, KKP juga berusaha meningkatkan nilai tambah produk udang. Selama ini, ekspor udang dari Indonesia hanya dalam bentuk/rozen shrimp. KKP berencana mendorong produsen mengekspor dalam bentuk olahan, seperti udang kaleng.
Sumber : Harian Kontan 13 Desember 2010,hal.15
Sabtu, 11 Desember 2010
Produksi Patin dari Kalsel
Produksi Patin dari Kalsel
Ikan patin merupakan satu diantara sepuluh komoditas unggulan perikanan budidaya. Ikan yang termasuk dalam cat fish ini sangat diminati di pasar lokal maupun internasional. Karena itu upaya pengembangan patin di tanah air terus dilakukan.
Salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang melakukan kegiatan pengembangan budidaya ikan air tawar adalah Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Mandiangin. BBAT ini merupakan salah satu UPT Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) yang terletak di Desa Mandiangin Barat Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan (Kal sel).
Terkait pengembangan patin di Kalsel, maka diselenggarakan temu lapang guna sosialisasi penerapan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB). Tujuan utamanya adalah untuk sertifikasi budidaya patin di Kalsel. Acara ini digelar di BBAT Mandiangin di Bincau Kabupaten Banjar Kalsel (24/6).
Dari penyelenggaraan acara ini diharapkan upaya pencapaian target sertifikasi tahun 2010 secara nasional sebanyak 1000 unit usaha/perusahaan perikanan yang bersertifikat atau beberapa unit usaha di Kalimantan Selatan akan segera terwujud. Acara ini dihadiri antara lain oleh Direktur Produksi–Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya beserta staf, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kalsel, Kepala BBAT Mandiangin, Kepala Balai Benih Ikan–Induk Ikan Air Tawar Karang Intan, Kelompok Pembudidaya Ikan Patin di Kalsel dan Kalteng dan lainnya.
Stasiun BBAT Mandiangin di Bincau Sebagai Lokasi Temu Lapang Pembudidaya
Terapkan CBIB Patin
Terkait dengan upaya peningkatan produksi ikan air tawar di Kalsel maka harus dibarengi dengan peningkatan mutu produksinya. Yakni melalui penerapan standar CBIB. Fakta di lapangan menunjukkan, CBIB belum sepenuhnya dimengerti dan juga belum diterapkan oleh pembudidaya. Misalnya pada pengelolaan sumber air sebagai air pasok sebelum digunakan hanya diendapkan (tanpa treatment khusus), penggunaan obat-obat kimia yang belum terdaftar, pencatatan belum dilakukan sepenuhnya, higienitas personal masih kurang, pengelolaan limbah belum dikelola.
Dalam hal pakan, pembudidaya dipusingkan dengan harga pakan yang mahal. Ini karena sekitar 90% bahan baku pakan masih harus didatangkan dari luar negeri. Celakanya, biaya untuk pakan ini mencakup 70% dari total biaya produksi.
Demi menyiasati tingginya harga pakan maka pembudidaya harus didorong untuk membuat pakan secara mandiri dengan memanfaatkan bahan baku lokal. Kegiatan ini juga sebaiknya dikelola oleh kelompok pembudidaya ikan (pokdakan) sehingga mereka tidak bergantung pada pakan pabrik. Ini juga perlu dukungan pemerintah antara lain dengan memberikan bantuan sarana budidaya seperti mesin pembuat pakan ikan sederhana (mesin pelet mini).
Lokal Lebih Mahal
Dari kondisi terakhir tak heran jika harga patin Indonesia lebih mahal daripada patin Vietnam. Vietnam mampu menghasilkan patin murah karena pakannya juga murah dan masa budidayanya singkat. Harga pokok patin Vietnam Rp 6.000–7.000/kg, sedangkan di Indonesia harga pokoknya Rp 8.000–11.000/kg. Sulit bagi Indonesia untuk menyamai harga patin Vietnam. Upaya yang bisa dilakukan yaitu menekan biaya produksi terutama biaya pakan melalui diversifikasi pengolahan hasil patin seperti mengolah ekor, kepala ikan patin, fillet. Ini diharapkan akan memberikan nilai tambah (added value) sehingga bisa bersaing dengan impor patin dari Vietnam.
Sementara itu saat ini pembudidaya berharap ada peluang ekspor Terutama pembudidaya di Banjar Baru. Produksi mereka per hari mampu mencapai 30–60 ton. Sementara di Sungai Batang Ilir Kecamatan Martapura Barat Kabu, salah satu pokdakan yang memiliki 70 kolam mampu memproduksi ikan patin 70 ton/kolam. Potensi produksi patin tersebut diharapkan mampu menembus pasar ekspor dan menggantikan impor patin (fillet) dari Vietnam.Dan untuk itu juga harus menjaga kontinyuitas bahan baku, kuantitas dan kualitas produksi.
Kendala lain adalah pabrik pengolahan (cold storage) patin menjadi fillet masih sangat sedikit di Indonesia. Di sisi lain pasar dalam negeri justru kebanjiran oleh produk patin Vietnam karena harga patin lokal masih kalah bersaing. Patin fillet Vietnam yang telah masuk pasar Indonesia harganya Rp 9.000/kg lebih murah dari Indonesia yang harganya Rp 17. 000/kg.
Padahal dari segi kualitas, patin Indonesia jauh lebih hebat dibandingkan kualitas patin Vietnam. Hal ini dikarenakan sungai Mekong—lokasi budidaya patin di Vietnam—yang mengalir di Vietnam sebelumnya telah melewati China, Thailand, Laos dan Myanmar sehingga sungai tersebut dipastikan juga membawa bahan-bahan cemaran dari wilayah-wilayah yang telah dilewatinya sehingga kualitas airnya menurun.
Dari jenis ikannya, patin Indonesia dan patin Vietnam sebenarnya mempunyai kualitas sama. Hanya di tingkat pengolahan, kualitas patin lokal harus ada pembenahan. Permasalahan olahan daging patin (fillet) antara lainn ukuran panen umumnya kurang memenuhi standar untuk ukuran sebagai fillet. Sementara kisaran ukuran patin untuk fillet adalah 500 gram–1 kg/ekor. Ukuran standar tersebut kerap tak terpenuhi karena banyak pembudidaya yang memanen ikannya lebih cepat dengan alasan agar biaya produksi tidak tinggi.
sumber : http://www.perikanan-budidaya.dkp.go.id
Ikan patin merupakan satu diantara sepuluh komoditas unggulan perikanan budidaya. Ikan yang termasuk dalam cat fish ini sangat diminati di pasar lokal maupun internasional. Karena itu upaya pengembangan patin di tanah air terus dilakukan.
Salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang melakukan kegiatan pengembangan budidaya ikan air tawar adalah Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Mandiangin. BBAT ini merupakan salah satu UPT Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) yang terletak di Desa Mandiangin Barat Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan (Kal sel).
Terkait pengembangan patin di Kalsel, maka diselenggarakan temu lapang guna sosialisasi penerapan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB). Tujuan utamanya adalah untuk sertifikasi budidaya patin di Kalsel. Acara ini digelar di BBAT Mandiangin di Bincau Kabupaten Banjar Kalsel (24/6).
Dari penyelenggaraan acara ini diharapkan upaya pencapaian target sertifikasi tahun 2010 secara nasional sebanyak 1000 unit usaha/perusahaan perikanan yang bersertifikat atau beberapa unit usaha di Kalimantan Selatan akan segera terwujud. Acara ini dihadiri antara lain oleh Direktur Produksi–Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya beserta staf, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kalsel, Kepala BBAT Mandiangin, Kepala Balai Benih Ikan–Induk Ikan Air Tawar Karang Intan, Kelompok Pembudidaya Ikan Patin di Kalsel dan Kalteng dan lainnya.
Stasiun BBAT Mandiangin di Bincau Sebagai Lokasi Temu Lapang Pembudidaya
Terapkan CBIB Patin
Terkait dengan upaya peningkatan produksi ikan air tawar di Kalsel maka harus dibarengi dengan peningkatan mutu produksinya. Yakni melalui penerapan standar CBIB. Fakta di lapangan menunjukkan, CBIB belum sepenuhnya dimengerti dan juga belum diterapkan oleh pembudidaya. Misalnya pada pengelolaan sumber air sebagai air pasok sebelum digunakan hanya diendapkan (tanpa treatment khusus), penggunaan obat-obat kimia yang belum terdaftar, pencatatan belum dilakukan sepenuhnya, higienitas personal masih kurang, pengelolaan limbah belum dikelola.
Dalam hal pakan, pembudidaya dipusingkan dengan harga pakan yang mahal. Ini karena sekitar 90% bahan baku pakan masih harus didatangkan dari luar negeri. Celakanya, biaya untuk pakan ini mencakup 70% dari total biaya produksi.
Demi menyiasati tingginya harga pakan maka pembudidaya harus didorong untuk membuat pakan secara mandiri dengan memanfaatkan bahan baku lokal. Kegiatan ini juga sebaiknya dikelola oleh kelompok pembudidaya ikan (pokdakan) sehingga mereka tidak bergantung pada pakan pabrik. Ini juga perlu dukungan pemerintah antara lain dengan memberikan bantuan sarana budidaya seperti mesin pembuat pakan ikan sederhana (mesin pelet mini).
Lokal Lebih Mahal
Dari kondisi terakhir tak heran jika harga patin Indonesia lebih mahal daripada patin Vietnam. Vietnam mampu menghasilkan patin murah karena pakannya juga murah dan masa budidayanya singkat. Harga pokok patin Vietnam Rp 6.000–7.000/kg, sedangkan di Indonesia harga pokoknya Rp 8.000–11.000/kg. Sulit bagi Indonesia untuk menyamai harga patin Vietnam. Upaya yang bisa dilakukan yaitu menekan biaya produksi terutama biaya pakan melalui diversifikasi pengolahan hasil patin seperti mengolah ekor, kepala ikan patin, fillet. Ini diharapkan akan memberikan nilai tambah (added value) sehingga bisa bersaing dengan impor patin dari Vietnam.
Sementara itu saat ini pembudidaya berharap ada peluang ekspor Terutama pembudidaya di Banjar Baru. Produksi mereka per hari mampu mencapai 30–60 ton. Sementara di Sungai Batang Ilir Kecamatan Martapura Barat Kabu, salah satu pokdakan yang memiliki 70 kolam mampu memproduksi ikan patin 70 ton/kolam. Potensi produksi patin tersebut diharapkan mampu menembus pasar ekspor dan menggantikan impor patin (fillet) dari Vietnam.Dan untuk itu juga harus menjaga kontinyuitas bahan baku, kuantitas dan kualitas produksi.
Kendala lain adalah pabrik pengolahan (cold storage) patin menjadi fillet masih sangat sedikit di Indonesia. Di sisi lain pasar dalam negeri justru kebanjiran oleh produk patin Vietnam karena harga patin lokal masih kalah bersaing. Patin fillet Vietnam yang telah masuk pasar Indonesia harganya Rp 9.000/kg lebih murah dari Indonesia yang harganya Rp 17. 000/kg.
Padahal dari segi kualitas, patin Indonesia jauh lebih hebat dibandingkan kualitas patin Vietnam. Hal ini dikarenakan sungai Mekong—lokasi budidaya patin di Vietnam—yang mengalir di Vietnam sebelumnya telah melewati China, Thailand, Laos dan Myanmar sehingga sungai tersebut dipastikan juga membawa bahan-bahan cemaran dari wilayah-wilayah yang telah dilewatinya sehingga kualitas airnya menurun.
Dari jenis ikannya, patin Indonesia dan patin Vietnam sebenarnya mempunyai kualitas sama. Hanya di tingkat pengolahan, kualitas patin lokal harus ada pembenahan. Permasalahan olahan daging patin (fillet) antara lainn ukuran panen umumnya kurang memenuhi standar untuk ukuran sebagai fillet. Sementara kisaran ukuran patin untuk fillet adalah 500 gram–1 kg/ekor. Ukuran standar tersebut kerap tak terpenuhi karena banyak pembudidaya yang memanen ikannya lebih cepat dengan alasan agar biaya produksi tidak tinggi.
sumber : http://www.perikanan-budidaya.dkp.go.id
Jumat, 10 Desember 2010
Pengembangan Minapolitan Telan Rp 584 Miliar
Pengembangan Minapolitan Telan Rp 584 Miliar
SURABAYA - Program pengembangan kota sentra pengolahan ikan atau minapolitan percontohan di sembilan wilayah di Indonesia yang dikembangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menelan dana Rp 584 miliar.
"Pengembangan minapolitan ini merupakan bagian dari rencana strategis pembangunan kelautan dan perikanan mulai 2010 hingga 2014," ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad dalam seminar nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan 2010 dengan tema Potensi Sumber Daya dan Iptek Kelautan Untuk Kemandirian Bangsa di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Surabaya, Kamis (9/12).
Dia menjelaskan, dana Rp 584 tersebut dialokasikan untuk tiga program, yaitu pengembangan minapolitan percontohan berbasis perikanan tangkap di sembilan wilayah senilai Rp 364 miliar, minapolitan percontohan berbasis perikanan budidaya di 24 lokasi Rp 149 miliar, serta sentra garam rakyat di delapan lokasi senilai Rp 69 miliar.
"Pemilihan lokasi didasarkan pada persyaratan tertentu, di mana daerah itu punya potensi khusus yang bisa dikembangkan seperti potensi budidaya ikan patin, lele, rumput laut dan sebagainya," ujarnya.
Mengenai lokasi pengembangan minapolitan berbasis perikanan tangkap akan dilakukan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan Sumatera Utara, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Sungai liat Bangka Belitung, PPN Pelabuhan Ratu Jawa Barat, PPS Cilacap Jawa Tengah, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tamperan Jawa Timur, PPP Mun-car Jawa Timur, PPS Bitung Sulawesi Utara, PPN Ternate Maluku Utara, dan PPN Ambon Maluku.
Untuk minapolitan berbasis perikanan budidaya dilakukan di 24 lokasi, di antaranya budidaya ikan patin di Muaro Jambi dan Kampar Riau, budidaya lele di Kabupaten Bogor, guramih di Banyumas Jawa Tengah, rumput laut di Morowali Sulawesi Tengah, Sumbawa NTB, dan Sumba Timur NTT.
Fadel juga mengemukakan bahwa pemerintah terus mengembangkan sentra garam yang dilakukan di sembilan wilayah, yakni Aceh. Jawa Barat, Jawa Tengah. Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Program ini merupakan bagian dari visi KKP agar Indonesia penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar pada 2015. (ros)
Sumber : Investor Daily 10 Desember 2010,hal. 8
SURABAYA - Program pengembangan kota sentra pengolahan ikan atau minapolitan percontohan di sembilan wilayah di Indonesia yang dikembangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menelan dana Rp 584 miliar.
"Pengembangan minapolitan ini merupakan bagian dari rencana strategis pembangunan kelautan dan perikanan mulai 2010 hingga 2014," ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad dalam seminar nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan 2010 dengan tema Potensi Sumber Daya dan Iptek Kelautan Untuk Kemandirian Bangsa di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Surabaya, Kamis (9/12).
Dia menjelaskan, dana Rp 584 tersebut dialokasikan untuk tiga program, yaitu pengembangan minapolitan percontohan berbasis perikanan tangkap di sembilan wilayah senilai Rp 364 miliar, minapolitan percontohan berbasis perikanan budidaya di 24 lokasi Rp 149 miliar, serta sentra garam rakyat di delapan lokasi senilai Rp 69 miliar.
"Pemilihan lokasi didasarkan pada persyaratan tertentu, di mana daerah itu punya potensi khusus yang bisa dikembangkan seperti potensi budidaya ikan patin, lele, rumput laut dan sebagainya," ujarnya.
Mengenai lokasi pengembangan minapolitan berbasis perikanan tangkap akan dilakukan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan Sumatera Utara, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Sungai liat Bangka Belitung, PPN Pelabuhan Ratu Jawa Barat, PPS Cilacap Jawa Tengah, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tamperan Jawa Timur, PPP Mun-car Jawa Timur, PPS Bitung Sulawesi Utara, PPN Ternate Maluku Utara, dan PPN Ambon Maluku.
Untuk minapolitan berbasis perikanan budidaya dilakukan di 24 lokasi, di antaranya budidaya ikan patin di Muaro Jambi dan Kampar Riau, budidaya lele di Kabupaten Bogor, guramih di Banyumas Jawa Tengah, rumput laut di Morowali Sulawesi Tengah, Sumbawa NTB, dan Sumba Timur NTT.
Fadel juga mengemukakan bahwa pemerintah terus mengembangkan sentra garam yang dilakukan di sembilan wilayah, yakni Aceh. Jawa Barat, Jawa Tengah. Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Program ini merupakan bagian dari visi KKP agar Indonesia penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar pada 2015. (ros)
Sumber : Investor Daily 10 Desember 2010,hal. 8
Kamis, 09 Desember 2010
Agar Kejayaan Jatiluhur Berlanjut
Agar Kejayaan Jatiluhur Berlanjut
Waduk Jatiluhur kini kian tercemar seiring dengan terus meningkatnya populasi kantong jaring apung untuk budidaya ikan di sana. Waduk yang berada di wilayah Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat tersebut memang telah lama menjadi salah satu sentra usaha budidaya perikanan. Namun perkembangan jumlah usaha itu saat ini telah jauh melampaui jumlah yang diizinkan.
Celakanya, pengelolaan perikanan sumberdaya perairan Waduk Jatiluhur sampai saat ini masih berorientasi kepada peningkatan produksi dan mengabaikan kondisi lingkungan perairan. Akibatnya lingkungan waduk itu kini menuai dampak negatif. baik secara ekonomi maupun terhadap lingkungan perairan terhadap perikanan tangkap ataupun budidaya di sana.
Inilah yang mengemuka dalam Lokakarya Pengelolaan Waduk Jatiluhur di Jatilluhur, Purwakarta beberapa waktu lalu. Pada acara tersebut dinyatakan bahwa peningkatan jumlah unit KJA (Karamba Jaring Apung) yang kurang terkendali telah menimbulkan berbagai masalah. KJA ini merupakan tempat budidaya ikan yang mengkonsumsi pakan. Pakan yang tidak termakan ikan akan menjadi limbah organik. Celakanya, limbah organik ini tidak terurai sempurna akibat ketidakefisienan pakan yang diberikan. Ini menyebabkan limbah organik tersebut menumpuk di dasar perairan dan akan memicu terjadinya eutrofikasi. Yaitu blooming alga (populasi alga meningkat cepat karena perairan yang subur oleh limbah organik yang tak terurai) diikuti dengan munculnya gas-gas yang bisa membunuh organisme lain.
Lokakarya itu juga mengeluarkan data hasil Riset PANELKANAS dari BBRSEKP. Yaitu tentang indikasi adanya kecenderungan penurunan pendapatan, skala usaha dan kesejahteraan nelayan tangkap serta pembudidaya di perairan tersebut. Dari sini diharapkan, ke depan ada formulasi pengelolaan sumberdaya perikanan di Waduk Jatiluhur. Yakni yang tidak hanya terkait bio-ekologis spesies target (ikan) dan habitatnya namun juga terkait dengan sistem sosial ekonomi masyarakat nelayan dan para pembudidaya, jenis dan tingkat teknologi dalam mengeksploitasi sumber daya kelautan perikanan.
Dari kegiatan ini diharapkan diperoleh rumusan pola pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Ini sebagai upaya untuk melindungi sumberdaya perikanan dari kepunahan serta tetap memberikan keuntungan ekonomi bagi komunitas perikanan. Secara umum dari lokakarya tersebut diperoleh rumusan bahwa ke depan untuk pengelolaan Waduk Jatiluhur secara berkelanjutan dan lestari diperlukan beberapa kebijakan. Diantaranya kegiatan pemacuan stock (restocking ikan-ikan tropik level rendah), regulasi budidaya dengan pengurangan jumlah KJA dan penerapan KJA ramah lingkungan, penghijauan di hulu DAS Citarum. Selain itu diperlukan juga sinkronisasi dan harmonisasi aktivitas ekonomi yang ada di Jatiluhur sehingga mampu menjamin keberlanjutan usaha perikanan yang ada. Kemudian adanya penegakan hukum yang tegas, peningkatan partisipasi masyarakat serta adanya kelembagaan usaha yang mampu memberikan jaminan kecukupan kebutuhan hidup yang memadai dan berkelanjutan.
Acara ini dihadiri antara lain oleh Pejabat Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat dan kabupaten di lingkup DAS Citarum, peneliti dan akademisi, pengusaha perikanan tangkap Waduk Jatiluhur, pegusaha perikanan budidaya Waduk Jatiluhur, pengusaha industri penunjang Waduk Jatiluhur. Lokakarya dibuka oleh Kepala Balai Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Kegiatan ini merupakan forum untuk mempertemukan pelaku riset, pembuat kebijakan dan pelaku usaha Jatiluhur untuk bertukar pikiran dan mencari solusi bagi kelestarian waduk dan keberlanjutan usaha.
sumber : http://www.perikanan-budidaya.dkp.go.id
Waduk Jatiluhur kini kian tercemar seiring dengan terus meningkatnya populasi kantong jaring apung untuk budidaya ikan di sana. Waduk yang berada di wilayah Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat tersebut memang telah lama menjadi salah satu sentra usaha budidaya perikanan. Namun perkembangan jumlah usaha itu saat ini telah jauh melampaui jumlah yang diizinkan.
Celakanya, pengelolaan perikanan sumberdaya perairan Waduk Jatiluhur sampai saat ini masih berorientasi kepada peningkatan produksi dan mengabaikan kondisi lingkungan perairan. Akibatnya lingkungan waduk itu kini menuai dampak negatif. baik secara ekonomi maupun terhadap lingkungan perairan terhadap perikanan tangkap ataupun budidaya di sana.
Inilah yang mengemuka dalam Lokakarya Pengelolaan Waduk Jatiluhur di Jatilluhur, Purwakarta beberapa waktu lalu. Pada acara tersebut dinyatakan bahwa peningkatan jumlah unit KJA (Karamba Jaring Apung) yang kurang terkendali telah menimbulkan berbagai masalah. KJA ini merupakan tempat budidaya ikan yang mengkonsumsi pakan. Pakan yang tidak termakan ikan akan menjadi limbah organik. Celakanya, limbah organik ini tidak terurai sempurna akibat ketidakefisienan pakan yang diberikan. Ini menyebabkan limbah organik tersebut menumpuk di dasar perairan dan akan memicu terjadinya eutrofikasi. Yaitu blooming alga (populasi alga meningkat cepat karena perairan yang subur oleh limbah organik yang tak terurai) diikuti dengan munculnya gas-gas yang bisa membunuh organisme lain.
Lokakarya itu juga mengeluarkan data hasil Riset PANELKANAS dari BBRSEKP. Yaitu tentang indikasi adanya kecenderungan penurunan pendapatan, skala usaha dan kesejahteraan nelayan tangkap serta pembudidaya di perairan tersebut. Dari sini diharapkan, ke depan ada formulasi pengelolaan sumberdaya perikanan di Waduk Jatiluhur. Yakni yang tidak hanya terkait bio-ekologis spesies target (ikan) dan habitatnya namun juga terkait dengan sistem sosial ekonomi masyarakat nelayan dan para pembudidaya, jenis dan tingkat teknologi dalam mengeksploitasi sumber daya kelautan perikanan.
Dari kegiatan ini diharapkan diperoleh rumusan pola pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Ini sebagai upaya untuk melindungi sumberdaya perikanan dari kepunahan serta tetap memberikan keuntungan ekonomi bagi komunitas perikanan. Secara umum dari lokakarya tersebut diperoleh rumusan bahwa ke depan untuk pengelolaan Waduk Jatiluhur secara berkelanjutan dan lestari diperlukan beberapa kebijakan. Diantaranya kegiatan pemacuan stock (restocking ikan-ikan tropik level rendah), regulasi budidaya dengan pengurangan jumlah KJA dan penerapan KJA ramah lingkungan, penghijauan di hulu DAS Citarum. Selain itu diperlukan juga sinkronisasi dan harmonisasi aktivitas ekonomi yang ada di Jatiluhur sehingga mampu menjamin keberlanjutan usaha perikanan yang ada. Kemudian adanya penegakan hukum yang tegas, peningkatan partisipasi masyarakat serta adanya kelembagaan usaha yang mampu memberikan jaminan kecukupan kebutuhan hidup yang memadai dan berkelanjutan.
Acara ini dihadiri antara lain oleh Pejabat Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat dan kabupaten di lingkup DAS Citarum, peneliti dan akademisi, pengusaha perikanan tangkap Waduk Jatiluhur, pegusaha perikanan budidaya Waduk Jatiluhur, pengusaha industri penunjang Waduk Jatiluhur. Lokakarya dibuka oleh Kepala Balai Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Kegiatan ini merupakan forum untuk mempertemukan pelaku riset, pembuat kebijakan dan pelaku usaha Jatiluhur untuk bertukar pikiran dan mencari solusi bagi kelestarian waduk dan keberlanjutan usaha.
sumber : http://www.perikanan-budidaya.dkp.go.id
Rabu, 08 Desember 2010
Budidaya Ikan Di Danau Padang Golf
Budidaya Ikan Di Danau Padang Golf
Dalam rangka mengejar target produksi 353 % pada tahun 2015 nanti, Direktorat jenderal perikanan Budidaya tidak main-main dalam memajukan budidaya ikan. Segala bentuk lahan yang sekiranya dapat dijadikan untuk budidaya ikan, akan dijadikan lahan untuk perikanan budidaya.
Belum lama ini, DJPB telah berupaya melakukan terobosan dengan melakukan budidaya ikan nila dan ikan patin di lahan danau padang golf Markas Besar Tentara Indonesia, Cilangkap jakarta.
Dalam satu kesempatan, Sekretaris Direktorat Jenderal, Ir. Syamsuddin, menawarkan untuk melakukan restocking (penebaran benih ikan air tawar) di sebuah danau yang biasa dilewati ketika bermain golf. Ide ini tidak datang dengan sendirinya, namun dari banyak pertemuan dalam berolah raga golf.
Bahwa kepekaan para Pejabat lingkup Direktorat jenderal perikanan pada lingkungan untuk dijadikan lahan dalam budidaya membuat DJPB berkeyakinan, bahwa potensi lahan yang ada di sekitar dapat dijadikann lahan untuk membudidayakan ikan.
Pada tanggal 19 September 2010, sehabis main golf, Sesditjen Perikanan Budidaya, Ir. Syamsuddin dan dampingi pejabat eselon III diterima Letkol Infantri Drs. Eko Nusantara, Mewakili Kepala Padang Golf Mabes Tentara Nasional Indonesia. Melakukan restocking di danau sekitar Lapangan golf.
Jenis komoditas yang ditebar di danau Adapun jenis ikan yang ditebar adalaah Ikan Nila sebanyak 7500 (tujuh ribu lima ratus ribu) benih ikan nila ukuran 5-8 cm, dan sebanyak 7500 (tujuh ribu lima ratus) ikan lele ukuran 5-7 cm). Dalam tiga bulan mendatang hasil restocking ini dapat dipanen.
Letkol Infantri Drs. Eko Nusantara, Mewakili Kepala Padang Golf Mabes Tentara Nasional Indonesia sangat senang dan antuasi dalam acara ini. Menurut beliau tidak menutup kemungkinan di masa mendatang lahan danau ini dimanfaatkan untuk budidaya ikan.
Sementara itu Sisditjenkan Budidaya, Ir. Syamsuddin mengungkapkan di Jabotabek ada sekitar 33 danau serupa, dan dimungkinkan untuk ditebar benih ikan nila, patin dan lele. “restocking di Danau Padang Golf Mabes Ini baru penjajakan. Di masa mendatang kita akan juga menebar benih ikan air tawar lainnya”.
Sesditjenkan Budidaya memproyeksikan, bila ke 33 danau ditebar ikan masing-masing danau di 1 juta ekor. Dalam waktu hanya tiga bulan dapat menghasilkan tak kurang dari 33 juta ton ikan. “katakan ikannya yang hidup hanya 50%. Berarti tak kurang dari 15 juta ton bisa dipanen” ungkap Sesditjen optimis.
Sesditjenkan Budidaya, sedang menebar ikan di Danau PAdang Golf
sumber : http://www.perikanan-budidaya.dkp.go.id
Dalam rangka mengejar target produksi 353 % pada tahun 2015 nanti, Direktorat jenderal perikanan Budidaya tidak main-main dalam memajukan budidaya ikan. Segala bentuk lahan yang sekiranya dapat dijadikan untuk budidaya ikan, akan dijadikan lahan untuk perikanan budidaya.
Belum lama ini, DJPB telah berupaya melakukan terobosan dengan melakukan budidaya ikan nila dan ikan patin di lahan danau padang golf Markas Besar Tentara Indonesia, Cilangkap jakarta.
Dalam satu kesempatan, Sekretaris Direktorat Jenderal, Ir. Syamsuddin, menawarkan untuk melakukan restocking (penebaran benih ikan air tawar) di sebuah danau yang biasa dilewati ketika bermain golf. Ide ini tidak datang dengan sendirinya, namun dari banyak pertemuan dalam berolah raga golf.
Bahwa kepekaan para Pejabat lingkup Direktorat jenderal perikanan pada lingkungan untuk dijadikan lahan dalam budidaya membuat DJPB berkeyakinan, bahwa potensi lahan yang ada di sekitar dapat dijadikann lahan untuk membudidayakan ikan.
Pada tanggal 19 September 2010, sehabis main golf, Sesditjen Perikanan Budidaya, Ir. Syamsuddin dan dampingi pejabat eselon III diterima Letkol Infantri Drs. Eko Nusantara, Mewakili Kepala Padang Golf Mabes Tentara Nasional Indonesia. Melakukan restocking di danau sekitar Lapangan golf.
Jenis komoditas yang ditebar di danau Adapun jenis ikan yang ditebar adalaah Ikan Nila sebanyak 7500 (tujuh ribu lima ratus ribu) benih ikan nila ukuran 5-8 cm, dan sebanyak 7500 (tujuh ribu lima ratus) ikan lele ukuran 5-7 cm). Dalam tiga bulan mendatang hasil restocking ini dapat dipanen.
Letkol Infantri Drs. Eko Nusantara, Mewakili Kepala Padang Golf Mabes Tentara Nasional Indonesia sangat senang dan antuasi dalam acara ini. Menurut beliau tidak menutup kemungkinan di masa mendatang lahan danau ini dimanfaatkan untuk budidaya ikan.
Sementara itu Sisditjenkan Budidaya, Ir. Syamsuddin mengungkapkan di Jabotabek ada sekitar 33 danau serupa, dan dimungkinkan untuk ditebar benih ikan nila, patin dan lele. “restocking di Danau Padang Golf Mabes Ini baru penjajakan. Di masa mendatang kita akan juga menebar benih ikan air tawar lainnya”.
Sesditjenkan Budidaya memproyeksikan, bila ke 33 danau ditebar ikan masing-masing danau di 1 juta ekor. Dalam waktu hanya tiga bulan dapat menghasilkan tak kurang dari 33 juta ton ikan. “katakan ikannya yang hidup hanya 50%. Berarti tak kurang dari 15 juta ton bisa dipanen” ungkap Sesditjen optimis.
Sesditjenkan Budidaya, sedang menebar ikan di Danau PAdang Golf
sumber : http://www.perikanan-budidaya.dkp.go.id
Selasa, 07 Desember 2010
Fish Botia
Fish Botia
Did you know that to keep the fish Botia really very exciting. For the hobbyist fish is very beautiful to behold. Body shape is slightly flattened and elongated coupled rather round belly shape that is almost straight with a curved dorsal fin is more forward position than his stomach and is the anal fin in pairs, add fish Botia form exotica as ornamental fish. Moreover, the existence of four pairs of tentacles they have.
While Looking at the color hue of his body which has a red base yellowish orange with a bandage or three broad lines of black tape around his body which was very soothing look. There should also note that including fish that have no scales. But be careful when holding this fish because he has the weapons to protect themselves from attacks in the form of shaft under her eyes are hidden and will be out when he felt in danger because he was often called the spiny eye. No one can be when Botia stress reliever medication for maintenance.
Botia, in his book Saanin (1984) mentioned has 2 different species, namely macaracanthus and Botia Botia hymenphysa. In another book written by Kottelat et al (1993), Botia fish has three species, namely macaracanthus Botia, Botia hymenphysa and Botia reversa. All three species are distinguished one of them different amounts of black ribbon around his body. Botia macaracanthus has 3 black bands, Botia hymenphysa have 13-15 black ribbon and Botia reversa has 12 black ribbon. The taxonomy of ornamental fish into the category of family Botia cobitidae. Here's the full Botia fish classification:
* Kingdom: Animalia
* Fillum: chordate
* Class: Osteichthyes
* Subclass: Actinopterygii
* Order: Teleostei
* Suborder: Cyprinoidea
* Family: Cobitidae
* Genus: Botia
* Species: Botia macaracanthus, hymenphysa Botia, Botia reversa
In the wild these fish can reach the size of 30-40 cm, while at the aquarium can reach a maximum length of 11-14 cm. Botia female fish can weigh 80 grams as an adult. While males can reach 40 grams. Age Botia fish including the length. He was able to reach the age of 20 years.
Botia fish which is one of the excellent Indonesian ornamental fish are exported to foreign countries, can be found in the waters stem barito days jambi river in Kalimantan and the characteristics of waters in accordance with Botia fish habitat that likes calm waters, dark and like to hide but he did not like the mud. Fish Botia that this gregarious can live on water quality with a pH range from 5.0 to 7.0 temperature of 24-30 degrees Celsius with dissolved oxygen 5-8 ppm and ammonia levels <1.0 ppm.
Botia fish also known as clown fish because of its shape which resembles this clown has to be done spawning controlled since the 1990's whose research is one of them conducted by BBAT Sukabumi and was successful. So the fears of extinction of these fish due to mass arrests can be answered.
Botia fish hatchery is easy to do. It is important to always maintain the quality of water as provided above. create such conditions place the original habitat by providing paralon to her hiding for example.
Maintenance of water incubated eggs that have hatched and then allow approximately 15-26 hours. Then the larvae fed with tersbut after the age of 3 days. After 25-30 days the larvae will develop into seed Botia Botia fish. The media used were water wells or piped water that has been precipitated and aerated.
source: http://www.perikanan-budidaya.dkp.go.id
Did you know that to keep the fish Botia really very exciting. For the hobbyist fish is very beautiful to behold. Body shape is slightly flattened and elongated coupled rather round belly shape that is almost straight with a curved dorsal fin is more forward position than his stomach and is the anal fin in pairs, add fish Botia form exotica as ornamental fish. Moreover, the existence of four pairs of tentacles they have.
While Looking at the color hue of his body which has a red base yellowish orange with a bandage or three broad lines of black tape around his body which was very soothing look. There should also note that including fish that have no scales. But be careful when holding this fish because he has the weapons to protect themselves from attacks in the form of shaft under her eyes are hidden and will be out when he felt in danger because he was often called the spiny eye. No one can be when Botia stress reliever medication for maintenance.
Botia, in his book Saanin (1984) mentioned has 2 different species, namely macaracanthus and Botia Botia hymenphysa. In another book written by Kottelat et al (1993), Botia fish has three species, namely macaracanthus Botia, Botia hymenphysa and Botia reversa. All three species are distinguished one of them different amounts of black ribbon around his body. Botia macaracanthus has 3 black bands, Botia hymenphysa have 13-15 black ribbon and Botia reversa has 12 black ribbon. The taxonomy of ornamental fish into the category of family Botia cobitidae. Here's the full Botia fish classification:
* Kingdom: Animalia
* Fillum: chordate
* Class: Osteichthyes
* Subclass: Actinopterygii
* Order: Teleostei
* Suborder: Cyprinoidea
* Family: Cobitidae
* Genus: Botia
* Species: Botia macaracanthus, hymenphysa Botia, Botia reversa
In the wild these fish can reach the size of 30-40 cm, while at the aquarium can reach a maximum length of 11-14 cm. Botia female fish can weigh 80 grams as an adult. While males can reach 40 grams. Age Botia fish including the length. He was able to reach the age of 20 years.
Botia fish which is one of the excellent Indonesian ornamental fish are exported to foreign countries, can be found in the waters stem barito days jambi river in Kalimantan and the characteristics of waters in accordance with Botia fish habitat that likes calm waters, dark and like to hide but he did not like the mud. Fish Botia that this gregarious can live on water quality with a pH range from 5.0 to 7.0 temperature of 24-30 degrees Celsius with dissolved oxygen 5-8 ppm and ammonia levels <1.0 ppm.
Botia fish also known as clown fish because of its shape which resembles this clown has to be done spawning controlled since the 1990's whose research is one of them conducted by BBAT Sukabumi and was successful. So the fears of extinction of these fish due to mass arrests can be answered.
Botia fish hatchery is easy to do. It is important to always maintain the quality of water as provided above. create such conditions place the original habitat by providing paralon to her hiding for example.
Maintenance of water incubated eggs that have hatched and then allow approximately 15-26 hours. Then the larvae fed with tersbut after the age of 3 days. After 25-30 days the larvae will develop into seed Botia Botia fish. The media used were water wells or piped water that has been precipitated and aerated.
source: http://www.perikanan-budidaya.dkp.go.id
Langganan:
Postingan (Atom)