Rabu, 14 Maret 2012

Maruni Wiwin Diarti - Penemu Senyawa Antimikroba dari Rumput Laut


MARUNI WIWIN DIARTI - Penemu Senyawa Antimikroba dari Rumput Laut

Seperti halnya makhluk hidup lain di jagat raya ini, sifat antagonismenya beragam spesies bakteri juga sebuah keniscayaan. Namun bagaimana sifat penentangan maupun perlawanan antar bakteri itu “didamaikan” agar bermanfaat bagi orang banyak. Khususnya bagi dunia kedokteran, bukan hal mudah untuk diwujudkan. Namun, Maruni Wiwin Diarti (Wiwin) justru tertantang oleh kesulitan itu. Lewat kajiannya, warga Desa Lembuak, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), ini berhasil menemukan obat anti mikroba dari bakteri rumput laut, kemudian mendapat Anugerah Teknologi Terapan dari Pemerintah Provinsi NTB, Desember 2003 di Mataram.

Menurut staf pengajar Akademi Analis Kesehatan (AAK) Mataram ini, adanya antagonisme di antara bakteri laut sudah diketahui. Namun, sangat sedikit penelitian yang mengeksplorasi keragaman bakteri laut di Indonesia untuk penemuan bahan baku obat anti mikroba baru. Salah satu penyebabnya keterbatasan dana untuk kegiatan penelitian itu. Penelitian awal sudah saya lakukan pada tahun 1999, namun sempat terhenti karena tidak cukup biaya. Saya kirim proposal penelitian ke Bappeda NTB, tetapi tidak ada jawaban sebab saat itu sedang terjadi krisis moneter. Penelitian berjalan lagi pada tahun 2001 dan selesai dua tahun tahun kemudian,” kata Wiwin menyebut lembaga penyandang dana penelitiannya.

Dia juga dibantu oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Riset Pembinaan Iptek Kedokteran Departemen Kesehatan. Belum tergalinya potensi laut Indonesia yang luar biasa banyaknya itu menjadi alasan lain Wiwin melakukan riset. Selain itu, banyak bakteri klinis yang resistan terhadap beberapa produk anti biotik sehingga perlu dicari sumber anti biotik baru yang secara finansial dapat dijangkau rakyat kecil. Dari telusur pustaka, lulusan Fakultas Biologi Universitas Islam Al-Azhar, Mataram, tahun 1996 ini memilih rumput laut Thalassia hemprichii yang kemudian diketahui memproduksi senyawa anti bakteri. Lokasi penelitiannya di Pantai Gerupuk, kawasan wisata Kute, Lombok Tengah, dimana masyarakat pesisir membudidayakan rumput laut sebagai sumber penghasilan alternatif.

Di tempat ini terdapat 11 jenis bakteri aerob, dan dia memilih meneliti Thalassia hemprichii. Rumput laut itu diambil bagian akar, batang, dan daunnya, lalu di masukkan ke dalam kantong plastik steril berisi air laut, lalu disimpan dalam kotak pendingin untuk uji laboratorium. Kultur primer rumput laut itu ditanam bagian akar, batang, dan daunnya pada permukaan lempeng NASW (Nutrient Agar Sea Water) bertemperatur 20 derajat selama 48 jam. Tiap koloni yang muncul dimurnikan, diidentifikasi secara konvensional berdasarkan karakteristik morfologi, biakan, biokimia, dan resistansi antibiotik. Setelah dilakukan pemurnian, rumput laut yang sudah jadi ekstrak itu diteteskan pada kertas filter steril dan di lakukan proses uji kadar hambatan minimal. Pada tahap ini diketahui senyawa hasil pemurnian memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan bakteri isolat klinis oleh senyawa bio-aktif dengan zona penghambatan 12 mm - 18 mm, tidak bersifat racun karena sampai dosis mikrogram per miligram tidak menyebabkan matinya hewan coba, dan potensinya 100 persen bisa menyembuhkan infeksi bakteri. Obat antimikroba dari bahan baku rumput laut itu bukan penelitian pertama perempuan kelahiran tanggal 15 Januari 1974 di Selong, ibu kota Lombok Timur. Sebelumnya Wiwin meneliti efek Helicobacter pylori (H pylori), penyebab penyakit lambung gastritis kronis aktif, dan pengaruh telur ayam terhadap H pylori.

Obat alternatif ini mungkin lebih murah mengingat obat infeksi lambung yang relatif mahal, kemudian banyak produk obat antibiotik berbahan kimia resistan terhadap H pylori. Jika bahan baku obat senyawa aktif biofisik bisa dimanfaatkan, dampak positifnya, antara lain, pada dunia farmasi dan mengangkat posisi tawar dan nilai jual sumber daya alam (SDA) Indonesia, seperti rumput laut dan telur ayam, menjadikan pendapatan petani terdongkrak. Itu memang cita-cita, tetapi yang lebih penting adalah menggali potensi SDA di Nusantara yang masih tersembunyi itu untuk diteliti bagi kepentingan orang banyak. Wiwin punya bekal untuk itu. “Saya suka meneliti yang mikro-mikro sebab selain tertarik, juga basis saya adalah analis kesehatan,” ujar istri Yunan Jiwintarum yang juga karyawan di AAK Mataram itu.

“Ini bidang penelitian potensial, namun amat sedikit orang mau menekuninya, malah yang mengincar potensi darat dan laut Indonesia adalah pihak asing. Kalau tidak proaktif dan berinisiatif, ya kita cuma jadi penonton.” tambahnya. Komitmen dan kesukaan seperti itu ditopang pula oleh lingkungan Wiwin sebab, kecuali mengajar, dia juga menjadi peneliti pada Unit Riset Biomedik (URB) Rumah Sakit Umum Mataram. Di sini ada peneliti senior Prof Dr dr Soewignjo Sumohardjo, pakar gastroentero hepatologi, yang membimbing, memberi dukungan moral dan material bagi ibu seorang anak itu.

Karena kemudahan yang disediakan itu maka setiap kali melakukan kegiatan penelitian, Wiwin turun membawa bendera URB Rumah Sakit Umum Mataram tadi. Wiwin agaknya belum puas dengan hasil yang diraihnya selama ini. Malah berbagai hal yang acapkali mengganggu kesehatan alat reproduksi perempuan tidak luput dari perhatiannya. Untuk itu, direncanakan pada bulan Mei ini dia bersama timnya mulai turun ke lapangan. Dia akan meneliti pemanfaatan alga untuk uji penapisan anti jamur infeksi kandida yang menyebabkan kanker mulut rahim pada perempuan. Biaya penelitian itu disponsori Kementerian Riset dan Teknologi Indonesia yang membantu pendanaan kegiatan sebesar Rp 40 juta.

Sumber: Harian Kompas, 12 Mei 2004.

ANAK BANGSA BERKIPRAH DALAM DUNIA PENEMUAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar