Selasa, 06 Maret 2012

Toleransi Ikan Mujaer (Cichlidae) Terhadap Suhu

Arsip Cofa No. B 010



Ikan genus Tilapia dan Sarotherodon merupakan ikan asli Afrika dan Israel, batas utara distribusi mereka. Mujaer asal tropis dengan jelas menunjukkan fisiologi ekologisnya, terutama dalam hal kesukaan suhu selama periode reproduksi.

Pada tahun-tahun terakhir ini, ikan mujaer telah disebarkan ke seluruh dunia yang suhunya cocok untuk pertumbuhan dan reproduksi mereka. Di banyak bagian dunia mujaer telah diperkenalkan untuk mengendalikan vegetasi, untuk dibudidayakan di kolam dan untuk pemancingan rekreasi. Ikan ini telah memantapkan keberadaannya di banyak danau di Florida, California dan Texas yang suhu musim dinginnya tidak menjadi pembatas. Mereka juga terdapat di daerah-daerah Amerika Serikat lain, di perairan yang dihangatkan sampai melebihi suhu lingkungan normal selama musim dingin oleh sumber air geotermal atau oleh pemanasan buatan dengan memanfaatkan instalasi pembangkit listrik. Beberapa mujaer memiliki potensi akuakultur yang baik karena pertumbuhannya yang cepat, kebiasaan makannya yang herbivora atau omnivora, efisiensi konversi pakannya yang tinggi, tingginya toleransi terhadap kualitas air yang rendah, kemudahan pemijahannya, kemudahan penanganannya, daya tahannya terhadap penyakit dan parasit serta penerimaan konsumen yang baik terhadap ikan ini.

Salah satu masalah budidaya mujaer di kolam adalah ketidakmampuannya, secara umum, untuk bertahan hidup pada suhu air 10 oC selama lebih dari beberapa hari. Pengaruh suhu terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan telah dipelajari. Hasil laporan penelitian toleransi panas pada mujaer menunjukkan variasi yang besar; masalah ini bersumber dari ketiadaan metode standar. Variasi hasil penelitian tersebut juga bisa disebabkan oleh perbedaan : 1) waktu aklimasi, 2) kualitas air seperti total oksigen terlarut (DO), total padatan terlarut dan salinitas, 3) umur, ukuran, jenis kelamin dan kesehatan ikan, serta 4) lama penurunan suhu.

Beberapa penelitian membuktikan bahwa toleransi terhadap suhu rendah pada mujaer dipengaruhi oleh aklimasi. S. aureus yang diaklimasikan terhadap suhu 28 oC selama dua minggu mulai mati pada suhu 11 oC sedangkan yang diaklimasikan terhadap suhu 18 oC (selama dua minggu) mulai mati hanya pada suhu 9 oC. Percobaan dengan menggunakan S. niloticus menunjukkan bahwa suhu yang disukai adalah 30 oC bila ikan diaklimasikan terhadap suhu antara 15 dan 30 oC. Kesukaan suhu yang lebih rendah, yakni 28 oC, dijumpai bila ikan diaklimaskan terhadap suhu 35 oC.

Ikan mujaer juvenil yang sebelumnya diaklimasikan terhadap berbagai suhu akan memilih kisaran suhu 27.0°C sampai 33.5°C, dengan nilai median suhu pilihan teoritis 28.5°C. Disimpulkan bahwa T. mossambica merupakan spesies termofilik (suka panas) yang bisa mati selama musim dingin.

Ikan mujaer menjadi tidak aktif pada suhu air di bawah 16 oC, yang merupakan suhu minimal untuk pertumbuhan normal. Reproduksi berlangsung pada suhu di atas 22 oC. Adaptasi mereka terhadap kisaran suhu lingkungan yang stabil membatasi distribusi alami mereka pada daerah-daerah tropis. Aktivitas dan kegiatan makan pada ikan menjadi berkurang pada suhu di bawah 20 oC dan kegiatan makan berhenti sama sekali pada suhu sekitar 16 oC. Walapun mujaer dapat bertahan selama pemaparan singkat (beberapa jam) terhadap suhu 7 sampai 10 oC, kematian dapat terjadi (pada beberapa spesies) pada suhu 12 oC setelah pemaparan yang lama.

Beberapa mujaer lebih toleran terhadap suhu rendah daripada galur lain. Tilapia sparrmanii adalah ikan yang kuat, dapat bertahan pada suhu yang jauh lebih rendah daripada yang bisa ditolerir oleh spesies lain. Toleransi suhu air terendah yang dilaporkan untuk spesies ini adalah 7 oC. Sedangkan T. rendalli dapat bertahan hidup pada suhu 11 oC.

Di antara ikan pengeram-mulut, Sarotherodon aureus tampaknya paling tahan terhadap suhu rendah. Banyak peneliti melaporkan toleransi ikan ini terhadap suhu rendah. Pada suhu di bawah 10 oC, S. aureus menghentikan semua gerakannya, sedangkan pada suhu 6 - 7 oC ikan ini kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan posisi tubuh. Bagaimanapun, bila dipaparkan terhadap suhu rendah selama hanya beberapa jam ikan ini bisa pulih. Ikan S. aureus lokal di Israel dapat mentolerir suhu 8,0 – 8,5 oC. Ikan S. vulcani, yang diperkenalkan ke Israel dari Danau Rudolf, mati ada suhu 11 – 13 oC. Sebaliknya, ikan hasil persilangannya dengan S. aureus mempunyai batas toleransi suhu rendah 8,0 – 9,0 oC. Suhu 11 oC dilaporkan sebagai batas letal bawah bagi S. niloticus. Persilangan antara S. niloticus betina dan S. aureus jantan serta persilangan S. vulcani betina dan S. aureus jantan memiliki batas-batas toleransi suhu yang sama seperti pada S. aureus. Percobaan serupa menunjukkan bahwa S. aureus lebih toleran terhadap suhu rendah (6,7 oC) (kriteria, 50 % dari ikan kehilangan keseimbangan) daripada S. hornorum (10,0 oC) dan S. niloticus (7,8 oC). Persilangan antara S. niloticus betina dan S. aureus jantan serta persilangan S. hornorum betina dan S. aureus jantan adalah sama seperti pada S. aureus dalam hal toleransi suhu rendah.

Ikan S. mossambicus mati pada suhu antara 8 dan 10 oC . Suhu minimum di mana ikan berhenti makan adalah 15,6 oC dan kematian 100 % terjadi pada suhu 8,3 – 9,4 oC. Toleransi terhadap suhu yang lebih rendah (5,5 oC) telah dilaporkan untuk S. mossambicus di Hanoi, Vietnam. Salinitas mempengaruhi batas toleransi suhu rendah pada S. mossambicus. Ikan S. mossambicus mentolerir suhu 11 oC dalam salinitas 5 ‰ tetapi bila ada dalam air tawar ia tidak dapat bertahan hidup pada suhu tersebut. Diduga bahwa kemampuan S. mossambicus untuk bertahan terhadap suhu rendah adalah berhubungan dengan upaya mempertahankan konsentrasi natrium dan klorida yang tinggi di dalam plasma darah.

Bertolak belakang dengan batas-batas toleransi mereka terhadap suhu rendah, mujaer sangat toleran terhadap suhu air yang tinggi, sebagaimana yang ditunjukkan oleh banyak peneliti. Ikan S. alcalicus grahami, yang hidup di mata air panas Danau Magadi, Kenya, mentolerir suhu sampai 42 oC. Daya tahan yang serupa terhadap suhu tinggi (sampai 42 oC) ditemukan pada S. shiranus chilwae. Ikan S. aureus menunjukkan sedikit kematian pada suhu 41 oC. Batas letal atas untuk S. niloticus juga telah ditentukan, yaitu 42 oC , sedangkan suhu letal median atas untuk S.mossambicus adalah 38,2 oC.

Mortalitas T. mossambica yang tinggi pernah terjadi di bendungan di Afrika Selatan, terutama di Highveld. Kemungkinan penyebab kematian tersebut adalah musim dingin sehingga mendorong diadakannya penelitian mengenai toleransi suhu dan kesukaan suhu pada spesies ini. Suhu letal median untuk T. mossambica adalah 9,9 oC minimum dan 38,2 oC maksimum. Juga melaporkan bahwa rata-rata suhu untuk T. mossambica dalam habitat alaminya adalah 25 oC, dengan kisaran suhu 21 – 27 oC.

Telah dibuat model untuk menduga kelangsungan hidup mujaer berdasarkan pada “pengalaman panas” individual. Percobaan laboratorium telah dilakukan untuk menentukan lama kelangsungan hidup dua galur tilapia Oreochromis nilotica dan pesilangan O. nilotica × O. aureus, yang terdedah terhadap berbagai nilai suhu dengan tiga suhu minimum dan dua laju penurunan suhu. Tilapia umumnya mampu bertahan hidup pada suhu minimum konstan lebih dari 12 °C tetapi kelangsungan hidupnya dipengaruhi oleh laju penurunan suhu, rasio massa-panjang dan galur. Untuk setiap kenaikan suhu minimum sebesar 1 °C, tilapia 2,76 kali lebih mampu bertahan hidup. Ikan yang dipaparkan terhadap penurunan suhu yang berlangsung cepat lebih tidak sanggup bertahan hidup daripada ikan yang dipaparkan terhadap penurunan suhu yang berlangsung lambat. Ikan yang lebih tegap (rasio massa-panjang lebih tinggi) lebih sanggup bertahan hidup, sedangkan galur memiliki efek minimal.


REFERENSI :

ARTIKEL TERKAIT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar