Revitalisasi Tambak, KKP Target Serap 405 Ribu Tenaga Kerja
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C.Sutardjo menargetkan program revitalisasi tambak Perikanan seluas 135 ribu ha di seluruh Indonesia dapat menyerap tenaga kerja baru sebanyak 405 ribu orang selama kurun waktu 2012- 2014. “Program revitalisasi tambak dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat, per hektarnya tambak membutuhkan tiga orang tenaga kerja, sehingga jika revitalisasi itu dilakukan di atas lahan seluas 135 ribu maka tenaga kerja yang terserap mencapai 405 ribu orang dalam kurun waktu tiga tahun ini,” ungkap Sharif Rabu sore (28/3) di Gedung DPR Jakarta.
Lebih jauh ia menjelaskan, jumlah tenaga kerja sebanyak 405 ribu itu equivalent (sama dengan) dengan satu persen laju pertumbuhan ekonomi kita. “Nah itu adalah impactnya (dampaknya) yang bisa diliat dan menjadi alat ukur sehingga ukurannya menjadi jelas,” katanya.
Menurutnya, upaya revitalisasi tambak merupakan salah satu program kementeriannya, khususnya di perikanan budidaya. "Revitalisasi dapat meningkatkan pendapatan petambak dan memberikan kontribusi pendapatan bagi negara. Pertama, revitalisasi tambak dapat meningkatkan pendapatan para petambak hingga mencapai tiga sampai empat kali lipat sebelum perbaikan tambak,” kata Sharif.
Kedua pendapatan petambak khususnya budidaya udang dapat meningkatkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Sedangkan kalau dari Usaha Kecil Menengah (UKM) sendiri terdapat peluang usaha untuk dapat menyerap 5-10 orang/ ha. Sharif mencontohkan budidaya bandeng dapat memberdayakan ibu-ibu nelayan untuk bekerja mencabut duri-duri bandeng sehingga ribuan orang dapat bekerja. Revitalisasi tambak rakyat tetap menjadi fokus Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2012- 2014. Langkah ini diambil guna mendukung industri pengolahan, ekspor, dan konsumsi udang lokal.
Selain berencana untuk memperbaiki dan merehabilitasi tambak seluas 135 ribu ha di seluruh Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga merevitalisasi lahan tambak perikanan di Pantai Utara (Pantura), Jawa Barat seluas 80 ribu ha. Sharif menyampaikan alasan pemilihan lokasi revitalisasi di Pantura yakni, karena mereka (nelayan) sudah tidak bisa melaut, dikarenakan laut di Pulau Jawa ini ikannya sudah tidak ada lagi. “Jadi mereka paling sulit hidupnya dibandingkan di indonesia bagian timur inilah alasan revitalisasi tambak dilaksanakan di Jawa,” tuturnya.
Dikatakannya, melalui revitalisasi tambak maka nelayan bisa beralih pekerjaan yang semula nelayan tangkap menjadi pembudidaya ikan. Berdasarkan catatan KKP, nilai ekspor udang beku, kaleng, dan olahan berturut-turut sebesar US$814 juta, US$241 juta, dan US$13 juta (per Oktober 2011). Peningkatan dibandingkan pencapaian 2010 terjadi pada udang olahan sebanyak 64 persen, udang beku 27 persen, dan udang kaleng 17 persen. Ia mengungkapkan, diantara upaya revitalisasi yang perlu dilakukan adalah dengan pengadaan bibit, harga pakan, kejernihan air yang perlu dijaga, pengetahuan yang baik dari petambak, keamanan serta kondisi infrastruktur. Selain faktor tersebut, KKP akan meningkatkan kerja sama dengan pengusaha melalui pola bapak angkat untuk membantu petambak.
Untuk itu, KKP akan terus melanjutkan program bapak angkat dimana pemerintah akan memberikan prasarana dan sarana bagi pengusaha, sehingga bisa diharapkan para pengusaha tersebut mau bekerjasama untuk melanjutkan operasionalnya. Selain membeli panen ikan petambak, peran pengusaha juga berinvestasi dalam hal pengembangan sarana, prasarana, dan operasional pakan serta memberi jaminan kredit kepada perbankan, sehingga hasil produksi petambak terjamin untuk dapat diserap pasar.
Sumber : KKP.go.id
Tampilkan postingan dengan label Berita Perikanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Berita Perikanan. Tampilkan semua postingan
Minggu, 06 Mei 2012
Kamis, 19 April 2012
Pakan Ikan Tambak
Pakan ikan - ikan di tambak sebetulnya sangat mudah di dapat dan di cari. budidaya ikan di tambak tidak perlu repot beli pakan ikan contohnya (por pakan ikan) yang buatan pabrik atau sejenisnya, pakan ikan yang sejenis por itu sesungguhnya malah membuat air tambak bertambah keruh dan kualitas airnya tidak bagus, semakin lama airnya tidak di ganti bisa membuat ikan mati. Jadi pakan yang baik adalah rumput yang tumbuh di tanggul - tanggul tambak itu sendiri atau tumbuhan rumput yang tumbuh di air tambak itu sendiri. Tambak yang di tumbuhin rumput air tidak usah memberi pakan lagi bagi ikannya karena dengan rumput itu sendiri ikan sudah bisa makan dan bagus manfaatnya di tambah dengan air tambaknya juga tetap terjaga kualitasnya. tambak yang tidak di tumbuhin rumput air bisa mengambil dari rumput yang tumbuh di tanggul-tanggul tambak, caranya tinggal memotong rumput-rumput yang tumbuh di tanggul-tanggul tambak setelah banyak di ikat dengan tali supaya rapi lalu di buang ketambak, rumput yang membusuk di air itu menjadi santapan ikan-ikan dan udang. alhasil budidaya tambaknya bisa memper cepet panen. selamat mencoba???
Minggu, 08 April 2012
Kelola Perikanan Yang Berkualitas
SRAGEN- Ikan nila sebagai produk perikanan unggulan Sragen mampu memboyong Penghargaan Adibhakti Mina Bahari dari Menteri Perikanan dan Kelautan RI ke pangkuan Bumi Sukowati. Sragen yang menjadi kampiun di tingkat provinsi Jawa Tengah ini bertarung melawan lima provinsi terbaik di Indonesia, dan berhasil menorehkan prestasi sebagai juara Harapan I tingkat nasional. Demikian dikatakan Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan (Disnakan) Sragen Ir. Sri Hardiarti Poerwo Koesoemo, dalam acara pembinaan jajaran PNS di Balai Benih Ikan Sragen, Sabtu (2/2). Pembinaan oleh Bupati Sragen H Untung Wiyono itu diikuti oleh 100 PNS Disnakan yang bertugas di seluruh Kabupaten Sragen. Selanjutnya Sri Hardiati mengatakan, Sragen ingin menjadi kabupaten terdepan dalam invovasi di bidang peternakan dan perikanan. Maka dari itu, jajarannya harus menyatukan langkah, visi, dan misi, agar keinginan ini dapat segera terwujud.
Bupati Sragen H Untung Wiyono antara lain menyampaikan, jajaran PNS Sragen harus cerdas mengelola bidang kerja yang menjadi tugas pokok dan fungsinya, agar menghasilkan nilai tambah. Tambahan penghasilan yang diperoleh dari penggunaan teknologi tepat guna tersebut akan membawa manfaat bagi masyarakat dan PNS itu sendiri. Pemkab bersedia membantu menfasilitasi keperluan PNS terkait pengembangan kinerja itu, selama ada kemauan untuk melakukannya dengan sungguh-sungguh dan dengan profesionalitas tinggi.
This informastion from here
Selasa, 03 April 2012
Lamongan telah ditetapkan sebagai Kawasan Minapolitan Budidaya Ikan
![]() |
MENTERI Kelautan dan Perikanan Sharif C Sutardjo (dua dari kiri) melakukan panen udang vanami di Desa Banjarwati, Kecamatan Paciran |
Menteri Kelautan dan Perikanan RI Sharif C Sutardjo, Sabtu (31/3) kemarin mengunjungi Pondok Pesantren Sunan Drajat, Paciran, Kabupaten Lamongan. Dia didampingi Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kelautan Perikanan Syarif Wijaya. Pada kesempatan itu, fungsionaris Partai Golkar tersebut meluncurkan Program Gerakan Nasional Masyarakat Peduli Industrialisasi Perikanan (Gempita) dan Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan Perikanan (P2MKP) di kawasan minapolitan Lamongan.
Menurut dia, kementeriannya kini sedang getol meningkatkan pendapatan masyarakat yang bekerja di bidang perikanan budidaya maupun tangkap melalui peningkatan nilai tambah produknya. Dia kemudian mencontohkan komoditas ikan bandeng. Setelah dipanen, ikan bandeng dalam kondisi segar langsung diolah untuk meningkatkan nilai tambahnya dengan mencabut duri dan membersihkannya kemudian dijadikan filet yang nilai jualnya bisa dua hingga tiga kali lipat dari harga ikan mentahnya.
Di kesempatan itu, dia juga menyerahkan bantuan untuk Kabupaten Lamongan. Bantuan itu berupa Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) kepada 16 kelompok senilai Rp 1,6 miliar, paket PUMP budidaya sebanyak 32 paket senilai Rp 2,08 miliar. Kemudian bantuan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (Pugar) Rp 1,417 miliar, fasilitas sarana air bersih tiga unit Rp 3,6 miliar, revitalisasi pasar ikan sebesar Rp 1,350 miliar, serta peralatan sistem rantai dingin Rp 200 juta.
Usai dari Ponpes Sunan Drajat, Menteri Sharif juga meninjau tempat pengolahan garam serta panen udang vanami. Yakni, berlokasi di tepian laut Desa Banjarwati, Kecamatan Paciran. Atau berjarak sekitar 1 km arah utara Ponpes Sunan Drajat yang diasuh oleh Dr. KH. Abdul Ghofur tersebut.
Sementara itu, Bupati Lamongan Fadeli menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Lamongan 7,08 persen. Sementara bidang pertanian, termasuk didalamnya komponen perikanan dan kelautan memberi kontribusi mencapai 44,48 persen.
Disebutkan olehnya, tahun 2011 total produksi ikan di lamongan mencapai 107.922,63 ton. Produksi ini adalah yang terbesar dari total produksi perikanan yang mencapai 1,3 juta ton di Jawa Timur. Lamongan memiliki potensi perikanan budidaya dengan luas tambak 1.750,40 hektar, pembudidaya 159.440 orang dan kolam 341,66 hektar.
Fadeli menyebutkan, perhatian pemerintah daerah dalam APBD untuk Dinas Perikanan dan Keluatan mencapai Rp 6,6 miliar lebih, melalui berbagai program. Diantaranya program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, program pemberdayaan masyarakat dalam pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan, program pemberdayaan budidaya perikanan dan program pengembangan perikanan tangkap serta program optimalisasi pengelolaan dan pemasaran produksi dan program pengembangan sarana dan prasarana penyuluhan.
sumber : surabaya post
Senin, 26 Maret 2012
Pemakaian Rumpon Ban Bekas Dilarang
Rumpon Ban Bekas Dilarang
Pemerintah melarang penggunaan rumpon berbahan ban bekas di perairan Indonesia. Penggunaan ban bekas sebagai rumpon itu terindikasi mengandung senyawa dioksin yang berpotensi meracuni biota laut dan manusia yang mengonsumsinya.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan Ali Supardan mengemukakan, pihaknya segera menerbitkan surat edaran tentang larangan penggunaan ban bekas sebagai bahan baku rumpon. Sebagai pengganti rumpon ban bekas, pihaknya sedang mengkaji penggunaan rumpon berbahan baku semen atau plastik.
Kepala Pusat Data dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Soen’an Hadi Poernomo mengemukakan bahwa ban bekas mengandung senyawa dioksin, yaitu ”2,3,7,8-toxic strong TCDD” yang membahayakan kesehatan makhluk hidup. Studi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) itu menyebutkan, senyawa itu mengandung racun yang berbahaya dan memicu penyebab kanker.
Di Amerika Serikat, pemakaian rumpon ban bekas gencar dilakukan pada tahun 1970-an, tetapi belakangan rumpon itu diambil kembali dari laut. Rumpon berbahan ban bekas telah banyak digunakan di sejumlah lokasi perairan di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan (BPPI) di Semarang bahkan sejak 2003 mengembangkan rumpon dasar dari rangkaian ban bekas untuk dipasok ke beberapa wilayah perairan di Kabupaten Demak, Pati, Rembang, dan Pekalongan di Jawa Tengah.
Buktikan dulu
Kepala Bidang Penyebaran Teknologi Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan (BPPI) Semarang Nur Bambang mengemukakan, indikasi bahaya rumpon ban bekas masih harus dibuktikan dan diuji melalui riset pemerintah. Menurut Nur, penggunaan ban bekas selama ini sudah menjadi bagian dari kearifan lokal masyarakat, di antaranya dipakai pada sumur-sumur air masyarakat untuk mengerek ember air.
Pemerintah menerbitkan aturan tentang pemasangan dan pemanfaatan rumpon tahun 2004. Berdasarkan kajian, penggunaan rumpon dapat menghemat penggunaan BBM dan waktu tangkap bagi nelayan, serta meningkatkan hasil tangkapan hingga tiga kali lipat.
Pada tahun 2008, DKP menyiapkan dana Rp 15 miliar untuk pengadaan rumpon. Jenis rumpon terdiri atas rumpon permukaan air (rumpon pelagis) dan dasar perairan (rumpon dasar). Rumpon yang dipasang di permukaan atau dasar laut merupakan ”hunian alternatif” yang memikat kelompok ikan untuk berlindung di dalamnya serta berkumpul di sekitar rumpon. Berkumpulnya ikan itu dimanfaatkan nelayan untuk menjaring ikan. (lkt) Jakarta, Kompas - Jumat, 19 September 2008
Label: Alat Penangkapan Ikan
Sabtu, 17 Maret 2012
DPR Dorong Cicip Optimalkan Industri Perikanan
![]() |
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo |
Ray Jordan - Okezone
JAKARTA - DPR mendorong Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo untuk mengoptimalkan industri perikanan Indonesia.
Komisi IV yang membidangi kelautan, perikanan, kehutanan, perkebunan dan pangan ini menyambut baik atas dilantiknya Syarif Cicip Sutardjo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru menggantikan Fadel Muhammad. "Harapan besar kita ada di Pak Cicip untuk seluruh bangsa," ujar Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron di gedung DPR RI, Jakarta, Senin (24/10/2011).
Menteri asal Golkar ini, diharapkan dapat bekerja dengan baik bersama dengan DPR sebagaimana kesuksesannya sebagai pengusaha. Herman juga mendorong agar Cicip bisa memaksimalkan lembaganya untuk mengoptimalkan industri perikanan.
"Bagaimana memenuhi target dalam negeri, itu industri perikanan harus dipotimalkan. Sebab kalau tidak ditangani dengan baik, ini yang menyebabkan terjadinya impor," jelasnya.
Mereka juga meminta inventarisasi dari pemerintah, terkait dengan anggaran kebutuhan perikanan, dan ini harus koordinasikan. “Kita juga ingatkan pak Cicip, realisasinya industri perikanan banyak yang menganggur. Intinya Manajemennya harus ditata, tidak kemudian sporadis," terangnya. (wdi)
Jumat, 16 Maret 2012
Kementerian BUMN Godok Holding Perikanan
![]() |
Mentri BUMN Mustafa Abubakar |
Wilda Asmarini - Okezone
BANDUNG - Setelah rencana pembentukan induk perusahaan (holding) perkebunan yang diharapkan bisa dibentuk pada tahun ini, Kementerian BUMN kini tengah menggodok pembentukan holding perikanan.
Holding perikanan tersebut terdiri dari tiga BUMN perikanan yaitu PT Perikanan Nusantara, Perum Pelabuhan Perikanan, dan PT Garam.
"Ketiganya itu kan bersinggungan, di perairan tambak, laut, sungai. Kami coba sinergikan dengan payung berupa holding BUMN perikanan," tutur Menteri BUMN Mustafa Abubakar, saat ditemui usai peresmian KA Malabar di Stasiun Bandung, Bandung, Jawa Barat, kemarin.
Menurutnya, pihaknya tengah memberikan waktu selama dua minggu kepada tim teknis pembentukan holding BUMN perikanan tersebut guna mempersiapkan konsepnya secara rinci.
"Nanti kami berkumpul lagi untuk menentukan kapan saatnya diresmikan pembentukan holding tersebut. Kami harapkan tahun ini (bisa terbentuk)," imbuhnya.
Namun Mustafa mengatakan pembentukan holding BUMN perikanan memang akan memakan waktu cukup lama terkait pembentukan peraturan pemerintah (PP).
"Karena menyangkut PP memang agak memakan waktu, tapi kami coba bekerja keras, karena hanya melibatkan dua instansi yaitu Kementerian BUMN dan Kementerian Kelautan dan Perikanan," tukasnya.
(ade)
Kamis, 15 Maret 2012
RI Gandeng Amerika & Korea Garap Kelautan & Perikanan
RI Gandeng Amerika & Korea Garap Kelautan & Perikanan
R Ghita Intan Permatasari - Okezone
JAKARTA - Guna menciptakan ketahanan pangan akibat dampak perubahan ikim, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggandeng Amerika Serikat (AS) dalam pembangunan kelautan dan perikanan.
Hal ini diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo usai menerima kunjungan kehormatan Duta Besar AS untuk Indonesia, di Jakarta, Jumat (4/11/2011).
"Indonesia dan AS, memiliki sejarah panjang dalam kerja sama bilateral, khususnya dibidang kelautan dan perikanan sehingga perlu digarisbawahi pentingnya dukungan AS dalam mengembangkan eksplorasi laut, pengelolaan sumber daya pesisir, laut dan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dalam menciptakan ketahanan pangan akibat perubahan iklim," katanya.
Menurutnya, dukungan dan kerja sama AS juga dibutuhkan dalam upaya penanggulangan pemberantasan illegal fishing, dan juga dalam menerapkan pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan di Indonesia.
Selain itu kerja sama juga penting dalam menerapkan pendekatan ekosistem Port State Measure, pemberdayaan nelayan skala kecil, dan dalam memenuhi standar kualitas produk perikanan yang ditetapkan oleh AS.
Kerja sama Indonesia dan AS diawali pada 2003 melalui Program Mitra Bahari dan diperkuat dengan penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) tentang kerja sama ilmu pengetahuan, teknologi dan aplikasi di bidang kelautan dan perikanan pada 2007.
Di sisi lain, usai menerima kunjungan kehormatan dubes Amerika, di saat yang sama Cicip juga menerima kunjungan kehormatan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Korea untuk Indonesia, HE Kim Young-Soon untuk memperkuat hubungan bilateral kedua negara di sektor kelautan dan perikanan.
Cicip menyatakan, Korea merupakan negara mitra yang penting bagi Indonesia, khususnya setelah presiden kedua negara menandatanggani Deklarasi Bersama Kemitraan Stratregis pada Desember 2006 lalu di Jakarta. Di sektor kelautan dan perikanan, deklarasi kedua negara ditindaklanjuti melalui Meeting of The Woking Level Task Force di Bali, medio Mei 2011 lalu.
Adapun hasil dari pertemuan tersebut adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan Korea sepakat untuk melanjutkan kerja sama sektor kelautan dan perikanan, kehutanan dan perikanan Korea sepakat untuk melanjutkan kerja sama sektor kelautan dan perikanan.
"Di Bali RI dan Korea juga sepakat untuk memperluas wilayah kerja sama yang mencakup konservasi alam, alih teknologi pembangunan pelabuhan perikanan dan pertukaran informasi budidaya perikanan," pungkasnya. (wdi)
R Ghita Intan Permatasari - Okezone
JAKARTA - Guna menciptakan ketahanan pangan akibat dampak perubahan ikim, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggandeng Amerika Serikat (AS) dalam pembangunan kelautan dan perikanan.
Hal ini diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo usai menerima kunjungan kehormatan Duta Besar AS untuk Indonesia, di Jakarta, Jumat (4/11/2011).
"Indonesia dan AS, memiliki sejarah panjang dalam kerja sama bilateral, khususnya dibidang kelautan dan perikanan sehingga perlu digarisbawahi pentingnya dukungan AS dalam mengembangkan eksplorasi laut, pengelolaan sumber daya pesisir, laut dan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dalam menciptakan ketahanan pangan akibat perubahan iklim," katanya.
Menurutnya, dukungan dan kerja sama AS juga dibutuhkan dalam upaya penanggulangan pemberantasan illegal fishing, dan juga dalam menerapkan pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan di Indonesia.
Selain itu kerja sama juga penting dalam menerapkan pendekatan ekosistem Port State Measure, pemberdayaan nelayan skala kecil, dan dalam memenuhi standar kualitas produk perikanan yang ditetapkan oleh AS.
Kerja sama Indonesia dan AS diawali pada 2003 melalui Program Mitra Bahari dan diperkuat dengan penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) tentang kerja sama ilmu pengetahuan, teknologi dan aplikasi di bidang kelautan dan perikanan pada 2007.
Di sisi lain, usai menerima kunjungan kehormatan dubes Amerika, di saat yang sama Cicip juga menerima kunjungan kehormatan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Korea untuk Indonesia, HE Kim Young-Soon untuk memperkuat hubungan bilateral kedua negara di sektor kelautan dan perikanan.
Cicip menyatakan, Korea merupakan negara mitra yang penting bagi Indonesia, khususnya setelah presiden kedua negara menandatanggani Deklarasi Bersama Kemitraan Stratregis pada Desember 2006 lalu di Jakarta. Di sektor kelautan dan perikanan, deklarasi kedua negara ditindaklanjuti melalui Meeting of The Woking Level Task Force di Bali, medio Mei 2011 lalu.
Adapun hasil dari pertemuan tersebut adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan Korea sepakat untuk melanjutkan kerja sama sektor kelautan dan perikanan, kehutanan dan perikanan Korea sepakat untuk melanjutkan kerja sama sektor kelautan dan perikanan.
"Di Bali RI dan Korea juga sepakat untuk memperluas wilayah kerja sama yang mencakup konservasi alam, alih teknologi pembangunan pelabuhan perikanan dan pertukaran informasi budidaya perikanan," pungkasnya. (wdi)
Sabtu, 10 Maret 2012
Illegal Fishing, Antara Kesadaran dan Kebutuhan
![]() |
Ilustrasi Polair menangkap Ilegas Fishing |
Andi Iqbal Burhanuddin - detikNews
Jakarta The world Commission on the Environment and Development menempatkan kemiskinan dan lingkungan sebagai hubungan sebab akibat dimana kemiskinan merupakan salah satu penyebab kerusakan suatu lingkungan.
Hal tersebut juga telah diperkuat oleh fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa kemiskinan nelayan masih menjadi fenomena di sepanjang 95, 181 ribu kilometer garis pantai Nusantara, dan karena kemiskinan tersebut itu pula sehingga pemanfatan sumbedaya alam dan lingkungan yang tidak terkendali dan berakhir pada kerusakan ekosistem yang menopang kehidupan manusia dimuka bumi ini.
Thomas R. Malthus (1798) telah mengingatkan bahwa populasi manusia yang tumbuh secara geometric atau deret ukur, dan sumberdaya alam yang tumbuh secara aritmetik atau deret hitung akan menyebabkan masalah besar yaitu kekurangan pangan.
Pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut yang kurang memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutannya akan memberi efek negative dalam banyak hal.
Misalnya, penangkapan ikan yang melebihi batas lestari, penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (bahan peledak dan sianida), pencemaran (logam berat, minyak dan pestisida), konversi lahan, dan pariwisata yang tidak trerkelola dengan baik.
Seiring dengan pertambahan penduduk yang diikuti oleh perkembangan gaya hidup manusia modern, maka permintaan pasar global terhadap pemenuhan kebutuhan penduduk pun semakin meningkat.
Sekitar enam puluh persen penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir, sehingga pusat kegiatan perekonomian seperti perdagangan, perikanan laut, budidaya perikanan, transportasi laut, dan pariwisata berkonsentrasi di wilayah pesisir.
Deforestrasi hutan mangrove, degradasi terumbu karang, kerusakan padang lamun di kawasan pesisir dan laut mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya keanekaragaman hayati laut, serta penambangan pasir laut secara ilegal masih menjadi tantangan besar dalam pembangunan sumberdaya kelautan dan masih memerlukan pengawasan dan penegakan hukum yang ketat.
Kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum (illegal fishing) hingga hari ini masih merupakan persoalan yang cukup serius dan menjadi bentuk gangguan keamanan sumberdaya laut, berdampak buruk bagi terbangunnya pengelolaan pesisir dan laut secara lestari.
Penangkapan melanggar hukum (illegal), tidak dilaporkan (unreported) dan tidak diatur (unregulated) yang menurut istilah FAO yaitu IIU Fishing tersebut terjadi di Indonesia dan sulit diberantas sejak tahun 1970-an sampai sekarang, bahkan ada kecenderungan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan modus operandi yang semakin beragam.
Bentuk-bentuk Illegal fishing
Salah satu bentuk illegal Fishing yang terjadi adalah penangkapan ikan oleh kapal-kapal asing atau yang berbendera Indonesia di perairan nusantara dengan berbagai modus operandi, seperti tanpa dokumen izin, pelanggaran daerah penangkapan (fishing ground), menyalahi ketentuan alat tangkap, melabuhkan hasil tangkapannya di negara lain.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi sehingga terjadinya kegiatan penankapan yang illegal, misalnya, telah terjadinya Over Fishing di negara-negara tetangga yang kemudian mencari daerah tangkapan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan produksi dan pemasarannya.
Selain itu juga didukung dengan sistem penegak hukum di laut kita masih sangat lemah, tidak sebanding antara luas laut dan kekuatan yang ada, sehingga para pelanggar leluasa dalam melaksanakan kegiatannya.
Bentuk lainnya adalah dilakukan oleh nelayan kita sendiri yaitu penangkapan dengan bahan peledak dan cara membius dengan menggunakan sianida. Menggunakan bahan peledak dalam penangkapan ikan merupakan cara yang tidak saja mudah dilakukan dan tanpa menggunakan tenaga kerja yang banyak, tetapi juga tidak membutuhkan biaya yang besar.
Tropical Research and Conservation Centre (TRACC) mengungkapkan secara matematis, bahwa setiap bahan peledak yang beratnya kurang lebih 1 kilogram diledakkan, dapat membunuh ikan dalam radius 15 hingga 25 meter.
Sedangkan kerugian secara ekologis dengan metode penangkapan membius, dalam satu kali semprotan yang mengeluarkan sekitar 20 mililiter mampu mematikan terumbu karang dalam radius 5 kali 5 m persegi dalam waktu relatif 3 hingga 6 bulan.
Namun dengan metode pengeboman ini nelayan bisa mendapatkan income sekitar 4 kali lipat dibanding bila menggunakan cara biasa, meskipun sebenarnya mereka telah lama memahami secara turun temurun dan telah mengalami dampak kegiatan tersebut membahayakan perkembangan ikan dan menghancurkan terumbu karang sebagai habitat mereka hidup, sehingga dapat menurunkan stok sumberdaya ikan secara keseluruhan.
Praktek illegal fishing yang tentunya jauh dari prinsip tata laksana perikanan yang bertanggungjawab atau Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) dipicu oleh tingginya kebutuhan ekonomi masyarakat, sementara kondisi sosial ekonomi masyarakat khususnya masyarakat pesisir relative rendah, tingkat teknologi eksploitasi armada penangkapan ikan rendah serta law enforcement dan penegakannya di laut masih lemah.
Akibatnya, setiap tahun terjadi penurunan jumlah stok ikan yang tertangkap, suplai bahan industry perikanan pun berkurang dan memaksa keluarnnya kebijakan pemerintah terhadap impor ikan.
Gangguan keamanan sumberdaya laut akibat illegal fishing tersebut bukan saja berdampak bagi negara kita yang menurut hasil perhitungan yang pernah dikeluarkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) bahwa kerugian negara yang diakibatkan oleh kegiatan IIU Fishing berkisar antara 1,8 sampai 4 milliar dollar US per tahun, akan tetapi juga merupakan persoalan dunia karena dampak kerusakan yang ditimbulkan sangat besar dalam skala luas serta pemulihannya memerlukan investasi besar dan waktu lama.
Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan tidak boleh lagi hanya dikonsentrasikan pada upaya bagaimana mencapai hasil tangkapan yang maksimum, namun harus berdasarkan prinsip tata laksana perikanan yang bertanggungjawab yakni mempertimbangkan keseimbangan pemanfaatannya baik secara ekonomi, ekologi dan lingkungan.
Tentunya, semuanya perlu di tata dalam sebuah kebijakan kelautan nasional (national ocean policy), sebagai basis menjalankan program pembagunan kelautan yang mencakup dan memadukan kepentingan sektoral.
*Penulis adalah Dosen Ilmu Kelautan & Perikanan Unhas
Andi Iqbal Burhanuddin
Jl. Sunu FX-5 Kompl Unhas Baraya, Makassar
iqbalburhanuddin@yahoo.com
0811441491
(wwn/wwn)
Rabu, 01 Februari 2012
Industri Versus Impor Ikan
Industri Ikan |
Industri Versus Impor Ikan
Oki Lukito, FORUM MASYARAKAT KELAUTAN DAN PERIKANAN;
PELAKU BUDIDAYA LAUT DAN TAMBAK
Sumber : KORAN TEMPO, 26 Januari 2012
Wacana industrialisasi perikanan terus digulirkan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengatasi impor ikan yang semakin sulit dibendung dan dikendalikan. Bahkan ikan impor dalam kemasan pun bebas masuk tempat pelelangan ikan (TPI) dan dijual di pasar-pasar tradisional. Secara teori, apa yang diwacanakan soal industrialisasi tersebut memang ideal, tetapi seharusnya tidak gegabah diterapkan. Sah-sah saja jika ada anggapan bahwa di perairan Indonesia timur potensi ikan tangkapan masih berlimpah, sekalipun tidak ada data pendukung yang menguatkan asumsi tersebut. Kajian stok ikan nasional sudah lama tidak pernah dilakukan, sehingga validitas klaim tersebut diragukan.
Ada baiknya kita menyimak hasil kajian yang telah dilakukan Badan Pangan Dunia (FAO). Sejumlah parameter menunjukkan bahwa status perikanan dan populasi ikan pelagic maupun demersal di perairan Indonesia sudah tidak sehat. Fakta yang terjadi, dengan kapal besar, nelayan memperluas jangkauan, meningkatkan kapasitas penangkapan, maupun menambah jumlah hari melaut, sementara hasilnya tidak sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Hal ini menunjukkan bagaimana kondisi ikan yang sebenarnya. Kebutuhan konsumsi ikan yang semakin meningkat setiap tahun, maupun pasar internasional, juga membuat eksploitasi sektor perikanan berlangsung secara besar-besaran.
Hasil penelitian yang dilakukan FAO pada 2010 menyebutkan pula, kondisi sumber daya ikan nasional maupun dunia saat ini menyusut drastis. Pada 2008, stok ikan laut dunia yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi hanya tinggal 15 persen. Sebanyak 53 persen stok ikan sudah dimanfaatkan secara maksimal dan tidak mungkin dieksploitasi lagi. Sedangkan sisanya sudah over-exploited atau stoknya menurun. Gambaran pemanfaatan sumber daya ikan di seluruh perairan Indonesia yang diterbitkan oleh Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan tahun 2006 menunjukkan hal yang sama. Tidak mengherankan jika sering terjadi bentrokan fisik antara nelayan tradisional dan ABK kapal asing akibat berebut wilayah penangkapan di tengah laut. Konflik antarnelayan tradisional pun sering terjadi di lokasi rumpon di perairan dangkal dan laut dalam.
Biaya Mahal
Membangun gudang ikan, sebagaimana diusulkan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) di sentra-sentra perikanan tangkap, khususnya di Indonesia Timur, akan terhambat stok ikan dan pasokan listrik. Gudang ikan kapasitas 30 ton atau seukuran kontainer 40 feet dengan biaya investasi Rp 1,5 miliar, misalnya, memerlukan listrik 40 ribu watt, biaya operasional Rp 20 juta per bulan. Sementara itu, pasokan listrik sebesar itu masih belum tersedia di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil.
PLN sendiri masih kesulitan menerangi permukiman penduduk tingkat kecamatan di wilayah timur. Idealnya, gudang penyimpanan seharusnya dilengkapi freezer selain cold storage. Mesin freezer akan membekukan ikan hingga minus 40 derajat untuk mempertahankan kualitas ikan dan mencegah berkembang-biaknya bakteri. Proses pembekuan ini mutlak dibutuhkan sebelum ikan dipindahkan ke cold storage dengan suhu minus 18 derajat sambil menunggu untuk dikapalkan.
Biaya lain yang harus dihitung adalah beban transportasi yang memang selama ini menjadi kendala serius di ranah bahari ini. Setidaknya untuk mencukupi kebutuhan bahan olahan industri perikanan di Jawa dan Sumatera, dibutuhkan kapal carrier berukuran 200 gross tonage (GT), mesin minimal 450 PK dengan kapasitas palka 80-100 ton. Biaya membeli solar (BBM) sekitar Rp 100 juta untuk kebutuhan selama 10 hari melaut trayek pulang-pergi. Biaya gudang dan transportasi tersebut tentunya menyebabkan harga ikan lebih mahal, belum termasuk biaya investasi kapal dan biaya rutin yang harus dikeluarkan, seperti menggaji ABK dan biaya merawat kapal.
Beberapa hal yang lolos dari pengamatan, selama ini petani budidaya dan industri tambak harus mengeluarkan biaya ekstra agar survive. Untuk menyiasati penyakit dan virus yang merebak akibat kontaminasi zat kimia dari konsentrat pakan, lahan tambak harus dilapisi terpal plastik. Air laut yang sarat pencemaran untuk bahan baku tambak udang, bandeng, atau kerapu lumpur memerlukan treatment khusus pula agar ikan tetap sehat. Sementara itu, budidaya air tawar dihadapkan pada persoalan makin terbatasnya sumber air dan melambungnya harga pakan. Demikian pula industri pengolahan mempunyai risiko lebih tinggi akibat kenaikan tarif listrik, mahalnya bahan baku, dan tuntutan peningkatan kesejahteraan karyawan.
Faktor dominan yang menyebabkan budidaya udang vanamei tidak sukses adalah mahalnya biaya produksi (pakan, BBM). Sebagai ilustrasi, biaya pakan udang vanamei dengan kepadatan 150 ekor per meter persegi dengan produksi 6 ton per musim tanam mencapai Rp 9.000 per kilogram. Setiap kilogram udang yang dibudidayakan selama 120 hari membutuhkan 2 liter solar untuk biaya aerator penghasil oksigen. Sedangkan harga jual udang vanamei Rp 46 ribu per kilogram. Gambaran biaya di atas belum termasuk investasi awal dan biaya rutin. Jika saja pemerintah mampu menurunkan harga pakan hingga 40 persen atau menciptakan pakan alternatif (organik), budidaya udang dengan sendirinya tumbuh subur. Pengusaha budidaya laut juga megap-megap karena mahalnya harga pakan. Untuk setiap kilogram ikan kerapu (grouper) yang dibudidayakan di keramba apung selama 6-8 bulan, dihabiskan Rp 40 ribu untuk membeli pakan olahan industri. Kesulitan serupa dialami petani budidaya ikan air tawar, seperti ikan lele, gurame, nila, patin, yang sangat bergantung pada pakan konsentrat (pelet). Dampaknya juga mempengaruhi tingkat konsumsi makan ikan nasional yang selama ini stagnan di angka 28 kilogram per kapita per tahun. Senyampang harga ikan lebih mahal dari harga beras, jangan berharap industri perikanan akan maju dan gemar makan ikan diminati masyarakat.
Malu
Jika dicermati, dana triliunan rupiah dihabiskan untuk membiayai peningkatan produksi perikanan, seperti sistem cluster, revitalisasi tambak, restrukturisasi pelabuhan, minapolitan, serta program 1.000 kapal nelayan. Awalnya, program tersebut gempita ketika dicanangkan, akan tetapi patut disesalkan sepi produktivitas dan bahkan sektor perikanan terpuruk.
Kita seharusnya malu, negara kepulauan Indonesia, yang memiliki potensi perikanan berlimpah, dihadapkan pada kenyataan harus mengimpor ikan. Tengok Malaysia, negara daratan itu mampu mengekspor ikan kerapu ke Hong Kong dengan harga lebih murah, padahal bibitnya diimpor dari Indonesia. Bahkan mampu menyuplai ikan lele ke Batam dengan harga Rp 9.000 per kilogram, sedangkan lele lokal dijual di atas Rp 10 ribu per kilogram.
Demikian pula Vietnam, yang potensinya jauh lebih kecil, mampu membudidayakan udang windu (Paneus monodon) dan menjadi negara eksportir windu, yang spesiesnya berasal dari tlatah Majapahit. Sementara itu, Korea Selatan sukses meriset jenis rumput laut asal Indonesia dan mendapat hak paten atas rekayasa mesin yang mampu membuat kertas dari hasil riset tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)